cerita fiksi4
“Fal, lo tahu nggak sih kelas kita
dimana?”
“Lo bercanda Se? Dua tahun lo sekolah
disini, tapi kelas baru kita nggak tahu?”
Sese dan Falla. Mereka
berdua adalah teman dekat. Semenjak menginjak bangku kelas sebelas, keduanya
menjadi begitu akrab. Sebenarnya ada satu temannya lagi. Dia adalah Kiran.
Mereka bertiga jika sudah disatukan, menjadi orang-orang yang terkadang
memiliki dunianya sendiri. Sayangnya, Kiran harus berpisah dengan mereka. Sese
dan Falla ada di XII IPA 1, dan Kiran ada di XII IPA 4.
(Falla segera membawa Sese dan
menunjukkannya kelas baru mereka yang akan menjadi tempat belajarnya mereka.)
“Nih tempatnya. Dan ini kelas kita.”
“Kok gini si? Jadi hadap-hadapan sama
kelas IPS.”
“Iya gue aja agak kurang sreg,”
“Yaudahlah gimana lagi masa iya harus
pindah sekolah biar kelasnya nggak hadap-hadapan sama lain jurusan. Berasa
musuh aja.”
“Hahaha apaan sih Se.”
Keduanya
selalu bersama. Bahkan, di kelaspun mereka sudah di cap seperti amplop dan
perangkonya. Terkadang, mereka menjadi siswa yang paling tidak bisa menahan
ketawanya, hingga banyak teman-temannya yang menjahilinya dan dibuat bingung
dengan kebiasaan aneh mereka berdua.
Tidak
butuh waktu lama untuk Sese dan Falla beradaptasi dengan suasana, kelas, dan
orang-orang baru. Ini point untuk mereka. Wajar, karena Sese dan Falla tipikal
orang yang cukup malu-maluin di depan umum. Hahaha.
*
Ketika
bel istirahat, Sese selalu mengajak Falla untuk keluar kelas. Tentu. Yang
dilakukan Sese adalah menunggu pangerannya datang ke sekolah. Setelah melihatnya,
dia akan tersipu malu dan berbunga-bunga hingga rona bahagianya begitu
terpancar. By the way, pangeran yang dimaksud bernama Septian Firmanto. Dia
biasa dipanggil Tian. Tian adalah teman satu kelas Sese dan Falla disaat ada
dibangku kelas sebelas. Sese sudah sejak awal masuk jatuh hati kepadanya.
Namun, harapan dia untuk bisa dekat dengan Tian terhalangi karena dia harus
menyadari kenyataannya jika Tian ternyata sudah memiliki dambatan hati yang
sejak dulu ia ingini.
“Fal, itu Tian.” Tanpa pikir panjang
dengan tiba-tiba dan sengajanya, Falla justru memanggil nama Tian yang
membuatnya menoleh. Namun yang dilakukan Sese, dia hanya menunduk, takut tak
terbalaskan.
“TIAN!” Dan Tianpun menoleh ke arah
mereka, namun yang dilihatnya terlebih dahulu adalah Sese. Kemudian, Tian
melanjutkan langkah kakinya menuju kelasnya yang tidak lain bersebelahan dengan
kelas XX IPA 1, yup dia ada di XII IPA 2.
Meskipun
Tian bertingkah begitu cuek terhadap Sese, dia maish memiliki sedikit perhatian
yang diberikan kepada Sese. Mungkin cueknya Tian dikarenakan dia yang
mengetahui jika Sese memiliki perasaan lebih dari teman dengannya. Lalu
membuatnya dia menjadi canggung dan akhirnya tak pernah bercakap kata
sepatahpun ketika bertemu.
“CIE SESE DILIHATIN CIEEEEEEEEEEEEEEE.”
Ledek Falla.
“Apaansih Fal?”
“Yah… Lo nggak tahu si tadi dia liat
lo tahu, tapi lo nya malah nunduk.”
“Serius lo? AHAHAHAHAHAHAHA sumpah
tadi jantung gue tuh nggak selow banget rasanya mau lari-lari sendiri gitu.”
“HAHAHA lebay banget lo Se.”
Tak lama, dari arah utara terlihat
Amar dan Dhika menuju ke kelas.
“Amaaaaaaaaar!” Teriak Sese yang
tiba-tiba merubah sikap Falla menjadi diam dan salah tingkah.
Yup.
Amar. Dia adalah siswa yang disukai Falla sejak kelas sepuluh. Mungkin
takdirnya, Falla bisa satu kelas dengannya di kelas sebelas, eh ternyata juga
di kelas dua belas. Sungguh. Amar adalah siswa yang paling digilai oleh banyak
siswi. Entah dari yang kelas sepuluh hingga dua belas begitu banyak sekali yang
mengidolakannya. Untungnya bagi Falla, dia salah satu yang menjadi teman
dekatnya.
“Apaansih Se teriak-teriak wuuuuuu.”
“Nih Fal, Amar. Tadi lo nyariin.”
Ucap Sese frontal yang sontak membuat keduanya, Falla dan Amar dibuat malu.
“NAH! COCOK GUE SAMA LO SE HAHAHA.”
Sambung Dhika yang biasa usil terhadap Sese.
Mereka
berempat begitu dekat. Terkadang banyak temna satu kelasnya yang iri dengan
kekompakkan yang mereka perlihatkan. Mereka asyik, tidak ada jaimnya.
“Se…… Gue kan udah sebisa mungkin
cari tempat duduk eh malah dapetnya di belakang dia. Kan males.” Kata Falla
yang selalu saja gengsi mengakui perasaannya terhadap Amar..
“Ya lo lagian berangkat siang kan
dapet bangku paling belakang. Udah gitu kita cewek sendiri di barisan ini
lagi.”
“Lo salahin gue mulu dah perasaan.”
“Tahu gini gue berangkat jam tengah
enam sekalian bantuin Pak Ahmad bukain gerbang sekolah.”
“Hahaha apaansih Se.”
*
Sese,
dia selalu saja terbayang-bayang akan Tian. Dia masih belum bisa menghilangkan
perasaan itu meskipun Tian sudah terang-terangan memiliki kekasih dimana dia
adalah siswi IPA 3. Bagi Sese, Tian itu cinta sejatinya. Dia harus
memperjuangkannya. Meskipun terkadang kenyataannya begitu menyakitkan.
“KIRAAAAAAAAAN!”
“SESEEEEEEEEEEEE!”
Mereka teriak saat bertemu langsung
di lapangan basket untuk mengikuti apel. Katanya sih, jarang ketemu makanya
sekalinya bertemu ya gitu, heboh banget.
“Lo lo lo apa kabs? Udah move on
belooooom?”
“HEH SESE! MIRROR DONG AHELAH.” Ucap
Kiran nyolot.
“Sensi amat lo kek ponsel lagi dicharge
kesenggol langsung nggak ngecharge.”
“HAHAHAHAHA APASIH SE.”
“KIRAAAAAAAAAAAN!” Tiba-tiba dari
arah utara suara Falla yang menggelegar segera memberhentikan rasa rindunya
dengan memeluk Kiran.
“Kalian kangen gue banget?”
“Diw kagak.”
“Hahahaha.”
“Eh Kir, belakang yok.”
“Lah gue dimana Se?”
“Lu depan aja Fal sama Dias.”
“Eh Se, emang nggak apa kalau gue
ikut dibarisan kelas lo?”
“Lo pindah kelas aja nggak apa kok lagian nggak ada yang
peduliin juga hahaha”
“Hahaha kampret lo Se, kalau ngomong
suka bener.”
Tak disangka, siswa yang
tepat berada di barisan belakang Kiran dan Sese adalah Tian. Entah mengapa, dia
tidak biasanya. Nyatanya dia tahu di depan ada Sese dan Kiran, namun Tian tetap
saja diam. Aneh. Tidak seperti biasanya Tian.
“Kir, lo tahu nggak sih belakang kita
siapa?” tanya Sese pelan.
Lantas, Kiran menolehkan kepalanya.
“TIAN SE!”
“Sttttt diam. Heran gue nggak
biasanya dia gini. Jan jangan lagi marahan sama pacarnya kali.”
“Eh tuh pacarnya.”
“Au ah.”
Setelah
apel selesai, semua siswa diharuskan masuk kembali ke ruang kelas barunya
masing-masing. Awal kegiatan belajar mengajar di mulai. Dua siswa tiba-tiba
mendekati bangkuku dan Falla ketika kita diberi tugas mengerjakan soal.
“Fal, ngerjain bareng ya.” Ucap salah
satu siswa yang terlihat tengil bernama Nara.
“Iya dong Fal, lo kan pinter.” Ucap
cowok yang telrihat sok cool.
Sungguh
Sese tak tahan disituasi ini. Mereka sama sekali tak mengajak Sese berbicara.
Jelas-jelas Sese ada di sebelah Falla. Sese memilih keluar kelas juga membuang
sampah bekas rautan pensilnya.
Ketika
dia kembali, bangkunya sudah di tempati oleh cowok tengil itu.
“Woy lo minggir bisa kali.”
“Pelit amat lo. Gue mau duduk disini
juga.”
“Tapi kan lo bisa ambil bangku
sendiri. Minggir nggak!”
“Fal, teman lo ini galak amat si.”
“Eh curut diam lo. Minggir!”
Sese
tahu apa yang dilakukan Nara tadi. Dia mencoba untuk mengambil hati Falla. Trik
macam apa huh sudah basi yang sangat terbaca. Jelas-jelas, Sese sangat
mendukung hubungan Falla dan Amar. Jadi jika ada seseorang yang mencoba
mendekati Falla, dia akan mencoba untuk menyeledikinya. Untung saja, modus itu
tak berjalan lama. Setelah Nara mengetahui jika foto wallpaper ponsel Falla
adalah foto Agung. Yang tiba-tiba menggegerkan kelas.
“Ini siapa? Bukannya Amar?”
“HAH?”
“Enggak kok enggak. Lo salah lihat.”
Ucap Falla mengelak.
“Iyalah bukan Amar. Yang ada mules
kali fotonya dijadiin wallpaper. Kalo gue, baru mau buka lockscreennya aja udah
males.”
“HAHAHAHA.”
“Se, diam lo.”
“Tapi Mar, serius yang tadi gue lihat
itu foto lo.” Kata Nara dan Amarpun hanya berdiam diri.
*
Tujuh
belas agustus dua ribu lima belas.
Sepulang
mengikuti upacara bendera memperingati Hari Kemerdekaan NKRI, Sese bercakap
dengan Falla via Line.
“Se……. Gimana nih kalau semua tahu
itu fotonya Amar?”
“Lo juga ngapain sih pasang foto dia?
Kan kita lagi di sekolah. Tau dah bisa aja bakal nyebar gini.”
“Sumpah Se, gue takut.”
“Gue juga khawatir. Udahlah gampang.
Besok gue ngomong ke Nara sama Itang buat nggak buka mulut soal ini.”
“Oke oke. Semoga aja mereka dengar.
Lagian ngapain juga Nara kepo banget isi ponsel gue.”
“Keknya dia ada rasa deh Fal sama
lo.”
“Hahaha apasih Se. Hm dulu gue juga
pernah suka sama dia. Kece aja gitu.”
“Hah lo nggak lagi mabok cendol kan?
Orang jalannya aja kayak anak habis disunat gitu kok.”
“Hahahaha apasih Se udah ah jangan
ngelawak mulu.”
“Emang dari lahir gue lucu kali.”
(Sehari setelahnya, Sese berbicara
kepada Nara dan Itang.)
“Eh Nar.”
“Apaan?”
“Gue minta ke kalian buat nggak
masalahin yang wallpapernya Falla oke. Kasihan dia takut gitu.”
“Emang itu beneran Amar.”
“Iya.”
“Falla suka sama Amar?”
“Iya.”
“Gue sih nggak heran. Karena dari
kelas sepuluh dia udah suka sama Amar.”
“Nah itu lo tahu Tang.”
“Emang gitu?”
“Yup.”
(Tanpa beragumen panjang, Nara dan
Itang menyutujui permintaan Sese.)
“Ayo buru-buru ke lab TIK.” Teriak
Dhika dari koridor kelas dimana dia adalah ketua kelas XII IPA 1.
Semua
anak sudah lebih dulu berjalan. Sese tertinggal di belakang bersama Falla.
Nampaknya, disana juga ada Nara dan Itang yang jalan di depan Sese juga Falla.
Falla menyamai langkah Itang dan mereka lebih dulu berjalan. Dan Sese
tertinggal di belakang. Aku tidak paham, tiba-tiba saja Nara melaju dengan
lebih lambat dan dia berjalan tepat di sebelah kiri Sese. Sambil berjalan,
mereka juga berbincang. Tidak hanya itu, ketika hendak kembali ke kelaspun,
Nara dan Sese berjalan bersama. Tentu, ini membuat mereka merasa jika ada
sesuatu antara Nara dan Sese. Meskipun keduanya sering sekali beradu kata,
namun keduanya tetap bisa menjadi teman baik. Mereka saling membantu satu sama
lain.
“Se, pinjem ponsel lo dong.” Minta
Laras kepada Sese.
“Nih.”
“Keluar yok.”
“Ngapain? Ntar kalau ada guru
dikiranya kita cabut lagi.”
“Udah nggak apa ayok.”
(Akhirnya, Laras dan Sese kluar kelas
dan duduk di teras kelas. Disana terlihat Nara, Itang, dan Uko yang juga sedang
duduk di teras. Sese sibuk dengan ponselnya dengan Laras. Tiba-tiba saja Nara
menyeletuk sesuatu.)
“Lo nggak usah motion gue dong Se.
Gue tahu kok gue cakep.”
“Apaan dah lo stress ya nggak banget
deh.”
“Iya lo Nar, pede amat.”
“Hahaha.”
“Sehat kan lo Nar?”
“Hahaha brisik lo Tang.”
(Sese, Laras, kemudian diikuti dengan
Nara, Itang, dan Uko masuk ke dalam kelas, karena terlihat dari ruang guru, Bu
Yeti berjalan menuju XII IPA 1)
“Selamat pagi anak-anak.”
“Pagi Bu.”
“Hari ini Ibu ingin membawa kalian
mengrefresh pikiran kalian.”
“Asyikkkk.” Semua siswa berteriak
karena gembira.
“Jadi ibu ada permainan, yang kalah
di hukum maju ke depan. Bagaimana?”
“Yahhhhhhh.”
“Permainannya gampang kok. Kalian
harus mencari pasangan kalian masing-masing. Okay. Baik, ibu mulai dari Amar.”
(Amarpun bisa mencari pasangannya.
Kini giliran Sese. Dia diminta untuk mencari pasangannya, dan yak! Mail
mengskak match Sese yang membuat dia harus dihukum ke depan.)
“Mail, lo gimana sih nangis nih gue.”
“Hahaha sumpah Se, gue nggak ngerti. Maafin
ya.”
“Iyadeh.”
“Ayok Sese maju ke depan. Coba
dibacain punya kamu.” Ucap Bu Yeti kepada Sese.
“Pasanganmu ada di Nara, Se.” lanjut
Bu Yeti.
“Nara? Lo ngapain diam aja Ra? Parah
lo!”
“Hahaha sorry Se, gue cari aman.”
(Semua anak-anak kelaspun tertawa
dengan tingkah Nara dan Sese. Sese diminta untuk maju menerima hukuman yang
harus di dapatnya. Beberapa anak mendapat hukuman. Seperti Sese, Dhika, Sari,
dan Falla. Hukuman mereka adalah sambung puisi.)
“Lah gue kan nggak bisa bikin puisi
Fal.”
“Apalagi gue Se.”
“Ah parah nih.”
(Ketika giliran Sese, “Bagaimana
dengan diriku?” Semua temna-temannya tertawa dengan kata yang Sese lontarkan.
Dengan ekspresi memelas dan ingin dikasihani, membuat puisi yang dibawakan Sese
terdapat makna yang begitu dalam.)
(Bel istirahat berbunyi. Sese sedang
berdiri di pintu kelas sendiri. Dari arah belakang, ada sebuah tangan yang
mendarat di kepalanya, dengan pukulan pelan.)
“Bagaimana dengan diriku? Hahahaha.”
“NARAAAAAA! SAKIT TAHU! AWAS AJA LO!”
“HAHAHAHA.”
(Tiba-tiba saja Dias memanggil Sese
dari luar kelas.)
“Seseeeeeeee.”
“Apaan?”
“Sini deh.”
“Nggak ah males.”
“Eh Tian, salam katanya dari Sese.”
“DIAAAAAAAAAS! KAMPRET LO. NGGAK KOK.
NGGAK!”
“Hahaha sini dong ahelah.”
“Lo mau ngomong apaan?”
“Tuh tadi Tian.”
“Ya gue tahu.”
“Udah gue salamin juga.”
“Iya Dias, gue tahu. Tahu banget.
Sampai mendoan aja gue nggak doyaaaaaaaan.”
“Kenapa lo?”
“Liat woy. FALLAAAAAAAAA BURUAN KELUAR
CEPETAN!”
“NGGAK MAUUUUUUUU.”
“FALLA BURUAN!”
“Apaan sih Se, lo berisik
manggil-manggil Falla.”
“Diam lo Di.”
“Apaansih Se?”
“Nggak mau ah ntar lo bocor.”
“Nggak lah. Gue bisa kali jaga
rahasia.”
“Lo janji ini rahasia, dan jangan
sampai siapapun tahu.”
“Ya emang apaan dulu.”
“Lo tahu anak IPS 3 yang nyender di
tembok itu?”
“Kan banyak Se.”
“Bukan bukan. Lo focus ke yang lagi
mainin ponselnya.”
“Oh iya gue tahu, itu kan Dif…….”
“JANGAN LO SEBUTIN!”
“Kenapa? Lo suka sama dia?”
“Ssssssttttttt Dias diam ini
rahasia.”
“OHAHAHA. Terus Tian gimana?”
“Au ah. Gue nyerah, nggak mau berjuang
dapatin cintanya lagi.”
“Dia mah kelas sepuluhnya deketan
sama kelas gua. Dulu tuh, dia terkenal banget cueknya. Terus katanya dia anak
orang kaya gitu. Pernah juga bawa mobil ke sekolah waktu class meeting.”
“Sepuluh tiga kan dia dulu? Gue mah
tahu dia baru kelas sebelas akhir. Gue malah nggak tahu kalau dia orang kaya
sama anak gaul gitu.”
“Hahahaha lo bisa banget Se,
milihnya. Oya, hampir aja kelupaan.”
“Apaan?”
“Tapi ini baru dugaan gue okey lo
jangan baper.”
“Apaansih Di, to the point aja nggak
usah bertele-tele gini.”
“Nara.”
“Hah? Kenapa dia?”
“Kayaknya dia ada rasa sama lo deh
Se.”
“HAHAHAHAHA. Lo ngigo siang bolong
gini?”
“Se! Gue serius nih.”
“Lo lucu aja. Coba mana yang bisa
buktiin kalau dia suka sama gue.”
“Lo perhatiin deh. Dari sikap dia ke
lo. Berubah gitu jadi sering ngeledek lo terus juga sering megang kepala lo
gitu.”
“Itu mah bukan suka. Enek kali dia ke
gue.”
“Sese ih!”
“Se, lo manggil gue kenapa?”
“Telat lo.”
“Gue kan habis makan.”
“Difta. Gue liat Difta.”
“Mana?”
“Udah masuk dia. Lo kelamaan sih.”
“Bukannya…….. Awas lo ini rahasia ada
Dias kali.”
“Dua kali lo telat. Dias udah tahu.”
“Santai Fal. Gue tahu kok hahaha gue
bisa jaga rahasia.”
“Awas aja lo kalau nggak bisa.”
“Gue angkat lo taruh tong sampah
depan tuh.”
“HAHAHAHA.”
“Sese ih.”
Tak
lama, bel berakhirnya istirahat berbunyi. Semua siswa masuk ke kelas
masing-masing. Sese dan Falla ada di bangku paling belakang, karena sesuai
dengan rolling. Mereka tidak bisa diam dengan cuaca panas yang membuat seisi
kelas menjadi gerah. Ditambah lagi ini adalah pelajaran Biologi yang
benar-benar menjadi obat tidur bagi Sese dan Falla.
Falla
tetap diam meskipun dia merasa ganjal. Sedangkan Sese, dia tetap bertingkah
agar tidak merasa mengantuk. Sesekali dia menengok ke arah teman-temannya.
Mereka begitu serius mengikuti pelajaran ini. Namun ada satu yang terlihat
aneh. Nara. Dia tertangkap basah sedang memperhatikan Sese dari ujung kiri
bangku. Sese mencoba untuk biasa saja, namun ketika Sese hendak melihat Nara
kembali, Nara masih tetap memperhatikannya. Ini membuat tingkah mereka
tiba-tiba canggung.
“Fal, baca nih.”
“Lo apaansih Se pakai nulis di buku
gue halaman akhir lagi.”
“Ssstt diam kalau Pak Huga dengar
gimana!”
“HAH NARA LIATIN LO MULU? HAHAHAHA.”
“HEH LO DIAM BISA NGGAK SIH!”
“Yaudahlah Se, biasa aja kalau memang
lo nggak ada rasa sih. Hahaha.”
“Kampret lo. Tahu ah gue males
ngomong sama lo.”
“Ya
gue harus apa coba?”
“Kan lo bisa kasih saran atau
solusi.”
“Lah itu tadi gimana sih.”
Karena
kebisingan Sese dan Falla di belakang, membuat Laras dan Astu merasa jika
konsentrasinya tergangggu.
“Eh kalian lagi ngapain sih?”
“Iya tuh. Nggak ngerti apa kalian tuh
berisik banget!”
“Ganggu juga.”
“Tuh Sese.”
“Fal diam deh lo. Gue lagi males
ngomong sama lo.”
“Lah ini apaan?” Laraspun membaca
tulisan Sese tadi. Dan ini membuat Laras dan Astu menjadi tahu.
“HAHAHA. SERIUS LO SE?”
“Ssssttt diam dong As. Nggak ngerti
deh gue. Udah ah.”
“Hahaha
gue jadi semakin yakin kalau Nara ada perasaan sama lo Se.”
“UDAH
WOY UDAH. GUE TAKUT KAN NIH.”
*
Sepulang
sekolah, Sese merabahkan tubuhnya. Dia begitu lelah dengan kegiatan hari ini.
Dan tentunya, masih terbayang benar semua tingkah dan perlakuan yang Nara
tunjukkan kepada Sese. Semakin yakin, jika Nara berbeda dari teman cowoknya
Sese yang lain. Lalu, apa benar yang dikatakan Dias, Falla, Laras, dan Astu
mengenai Nara?
Dering ponsel tiba-tiba menghentikan
lamunan Sese. Dia kembali tersadar.
“Eh apaansih ngapain gue mikirin Nara
coba?” tanya Sese kepada dirinya sendiri.
“Nara? Ah parah gue baru aja sampai
rumah.” Lanjut Sese.
“Iya halloo.”
“SE LO LAGI NGAPAIN SIH? ANGKAT
TELEPHONE GUE LAMA BENAR.”
“EH LO SUKA-SUKA GUE DONG RIBET AMAT
KEK TUKANG SAYUR. BHAY!”
“SEEEEEEEE!!!” Sesepun mengakhiri
percakapan mereka.
Tidak selesai sampai disini. Nara kembali
menelephone Sese.
“Se.”
“Apaan?”
“Lo kenapa matiin telephone gue?”
“Lagian ngapain sih lo nyolot gitu.
Males gue.”
“Dih sensi amat lo.”
“Udah deh. Lo ngomong aja buruan ada
apa?”
“Lo malam ini kosong nggak?”
“Emang kenapa?”
“Gue mau ngajak lo nonton?”
“Hah? Tapi lo kan yang bayarin?”
“Iya santai aja lo cuma tinggal ikut
aja.”
“Hahaha apaansih Ra. Bercanda kali
gue.”
“Tapi gue serius. Gue jemput jam
tujuh okey.”
“O….okeeey.”
“Bye. See ya.”
“See ya too.”
Tibalah pukul tujuh. Sese sudah
mempersiapkan diri satu jam sebelumnya. Dia menggunakan dress pendek berwarna
hitam dengan sneakers. Tidak lama, suara mobil terdengar berhenti tepat di
gerbang rumah Sese. Dia segera membukakan pintu. Dan ternyata, Naralah yang datang.
“Bun, bundaaaaaa.” Sese memanggil
Bundanya yang ada di ruang sebelah.
“Apaan Se?”
“Bentar dong bun. Tinggalin dulu
tugas kantornya. Ini ada Nara, teman Sese.”
“Iya iya bentar ih.”
“Hahaha udahlah Se kalo bunda lagi
sibuk.”
“Nggak. Bunda gitu. Jarang ada waktu
buat gue.”
“Ehhh ini siapa?”
Begitu melihat bunda keluar dari
ruang sebelah, segeralah Nara berdiri dan bersalaman dengan bunda.
“Nara bun.”
“Oh iya iya. Mau jalan sama Sese ya?”
“Bunda ih. Bukan jalan. Cuma nonton
doang.”
“Ahahaha bunda bisa aja. Iya aku mau
ajak Sese keluar buat nonton bun. Jam sepuluh malam Sese udah di rumah.”
“Wahhh anak pintar. Bunda suka sama
kamu nih. Jagain Sese ya nak.”
“Iya bunda.”
“Yaudah bun kita pamit ya.”
“Iya sayang. Hati-hati ya.”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Sepanjang
perjalanan, tak henti-hentinya mereka mengobrol. Suasana ramai di jalan membuat
mereka harus terjebak macet. Seperti biasanya Sese, dia tidak bisa diam dan
merasa gerah dengan suasana seperti ini. Untuk mengisi kebosanannya, dia
berfoto ria dan menyalakan music untuk bernyanyi di dalam mobil. Sese tidak
ingat, jika dia sedang bersama Nara.
“Nah ini music yang gue suka (sambil
berjoget)”
“Se, diam bisa nggak sih lo?”
(Dia lucu kalau lagi gini. Nggak ada
yang namanya jaga image. Dia selalu bisa jadi dirinya sendiri. Dan ini yang gue
suka dari dia).
“Ehhh sorry sorry gue lupa.”
“Hahaha kenapa nggak dilanjutin?”
“Naraaaaa gue malu. Jangan bilang lo
ilfeel jalan sama gue.”
“Hahaha kayak sama siapa aja sih.
Udah nggak apa daripada bosen nunggu macet.”
“Ra….”
“Kenapa?”
Merekapun saling bertatap muka.
“Mmmm gajadiii.”
“Apaan?”
“Kagaaaakkk udah ayok jalan.”
Bioskop begitu ramai. Tempat
parkirpun terisi penuh hingga membuat Sese dan Nara harus mengambil tempat
parkir di pojok, yang membuat mereka harus berjalan cukup jauh.
“Ini hari apasih Ra, ramai banget
gini.”
“Lo nggak inget ini kan satnite.”
“Serius lo? Pantesan.”
“Hahaha lama jomblo sih.”
“Eh lo kurang ajar ya awas aja lo!”
“Dih galak amat lo.”
“Diam lo.”
Nara masuk ke loket untuk membeli
tiket nonton. Mereka memilih menonton film horror, The Conjuring 2. Filmnya pun
membuat Sese ketakutan hingga seringkali memegang tangan Nara yang baginya, itu
relfeks semata. Dan Nara yang begitu percaya diri, selalu meledek Sese setelah
mereka menonton.
“Cie yang pegangin tangan gue mulu.”
“Nara lo bisa diam nggak sih? Gue kan
takut.”
“Takut apa modus? Hahaha.”
“Apaansih. Lo kali yang modus pilih
film horror biar apa hah?”
“Hahaha. Lo mau kentang goreng
nggak?”
“Beneran? Aaaaa mauuu.”
“Yaudah lo duduk situ, gue pesan dulu
okay.”
“Okay.”
Sembari menunggu Nara yang sedang
memesan snack, Sese dikagetkan dengan kedatangan Amar, Tara, Liya, Gilang, dan
Irna.
“Sese?”
“Eh lo.”
“Ngapain lo disini?”
“Cari angin.”
“Hahaha btw lo sama siapa Se?”
“Eh Tara. Gue sama….. sama…..”
“Nara?”
“Amar? Lo disini juga?”
“Jangan-jangan lo………”
“Nah gue tahu. Lo jalan sama Sese iya
kan?”
“Enggak kok.” Sese dan Nara menjawab
bersamaan.
“Ehhhh.”
“Ketahuan lo jalan bareng. Okesip ini
bakalan jadi tranding topic bukan cuma di kelas, tapi satu sekolah.”
“Amar tambal tuh jangan bocor-bocor.”
“HAHAHAHA SESE KE GAP JALAN BARENG
NARA.”
“AMAR! LO YANG DISINI APA GUE YANG
CABUT?”
“Gue aja Se, gue aja. Lo selesain
jalannya sama Nara.”
“Eh Mar, enak aja lo.”
“Keren lo bro. Pepet terus. Gue cabut
dulu okey.”
“Pergi lo jauh-jauh Mar.
PERGIIIIIII!!!”
“Bye Sese HAHAHA.”
Kali ini, jalan perdana
Sese dan Nara digagalkan karena bertemu dengan Amar yang dengan tiba-tiba
membuat mood Sese juga Nara berantakan. Apalagi Sese, dia begitu cemas jika
Amar benar-benar memberitahukan semua temna-teman tentang Sese dan Nara.
Keesokan harinya, Sese
tiba di sekolah lebih dulu di depan dibandingkan Nara. Benar-benar sesuai
dugaan. Amar memberitahu perihal Sese dan Nara. Seisi kelas heboh dengan
kedatangan Sese yang sedikit bebarengan bersama Nara. Padahal mereka tidak
janjian untuk datang bersama.
“Cie ada yang habis nonton bareng
nih.”
“Udah gitu pake baju samaan lagi
warnanya.”
“Dan mereka lagi ngedate gitu
ceritanya.”
“So sweet banget nggak sih. Diam-diam
gitu.”
“Di sekolah okeylah nggak akur, tapi
kalau udah diluar mah dekatnya kebangetan.”
“EH KALIAN KENAPA SIH?”
“Mungkin mereka iri kali Se.”
“Tau tuh.”
Sesepun meletakkan ransellnya
dibangku. Ransel Falla ada tapi orangnya tidak terlihat. Kemanakah gerangan
dia?
“Se?”
“Fal.”
“Cepet lo ceritain kenapa bisa
ngedate sama Nara?”
“Lo gila ya?”
“Maksud lo?”
“Yakali gue ngedate. Orang cuma
nonton doang habis itu pulang.”
“Masasih gue nggak yakin?”
“Lo apaan juga ikut-ikutan Falla.
Udah dong Fal, Di, jangan bahas ginian mulu. Bisa stress gue dimana-mana
dengarnya tentang gue sama Nara.”
“Lo lagian sih.”
“Mana Nara biasa aja lagi digossipin
sama lo gitu.”
“Gue yang pusing.”
Sese mengajak Falla dan Dias pergi ke
kantin. Di kantinpun, banyak anak yang membicarakan tentang Sese. Apalagi
setelah Sese terlihat menuju kantin.
“Gila apaandah ini ngomongin lo
semua.”
“Eh lo lo yang ada disini. Kalian tuh
nambah dosa. Berasa udah bener aja ngomongin orang.”
“Udahlah Fal, nggak usah diladenin.”
“Mereka kelewat batas dong Se.”
“Padahal lo sama Nara kan cuma nonton
doang. Apa salahnya si.”
“Udah Di, udah. Mereka lebay berasa
nggak pernah nonton sama doi kali.”
“HAHAHAHA.”
“Lo mau pesan apa Fal?”
“Gue bakso aja deh.”
“Lo Di?”
“Sama, gue juga bakso.”
“Ibuuu baksonya tiga ya. Minumnya air
putih aja. Ngirit.”
“Hahahaha iya nduk bentar ya.”
“Hahahaha apaansih Se.”
Dari kejauhan terlihat Nara dan
gengnya menuju kantin sekolah. Dias sudah lebih dulu memperhatikan sedangkan
Sese dan Falla sedang asyik dengan ponsel masing-masing.
“Hai Di.”
“Hai juga Janu.”
“Eh kalian…..” semua mata pengunjung
kantin tertuju pada Sese, Falla, Dias, dan geng Nara yang baru saja datang.
“Hai Falla.”
“Hai Ja.”
“Sese…. Hai.” “Kok diam aja sih Se.
Orang cakep disini nih.”
“Gue gabung ya.” Ucap Io dan Itang.
“Se?” panggil Io.
“Hallooooo Sese.” Ucap Janu kembali.
“Se woy!” ucap Itang.
Saat Sese selesai memainkan
ponselnya. Dia terkejut dengan pandangan Io, Itang, dan Janu juga Falla dan
Dias kepadanya. Sontak membuat Sese hampir terjauh dari bangku dia duduk.
“Astagaaaaa.”
“SESE…. HAMPIR AJA.”
“LO PADA NGAPAIN SIH TIBA-TIBA DI
DEPAN GUE GINI BIKIN GUE KAGET AJA.”
“Lo nggak sadar kan Se, udah dari
tadi gue disini ngeliatin lo.”
“Apaansih.”
Dari deretan bangku sebelah, Sese
melihat geng Nara yang sudah duduk di bangku masing-masing dan mereka
memperhatikan Sese dengan jelas juga.
“Eh apaansih kalian gue berasa apa
banget disini.”
Narapun membuka suara, namun dia
tidak menggubris ataupun meledek Sese seperti biasanya. “Kalian mau makan apa?”
“Lo apaan Se?” Tanya Io.
“Gue bakso.”
“Yaudah gue sama kayak Sese.”
“Elah ngapain lo nyamain gue. Gue
nggak Ra, gue udah pesan sendiri.”
“Lagian siapa juga yang nawarin lo
Se.”
“NARAAAAA!”
“Ekhem ekhem mulai nih.”
“Nggak. Gue diam.”
“Hahaha lanjut aja kali nggak apa
Se.”
“Arfi diam lo.”
Sese
segera menuju ke kelas untuk mengambil charge karena baterai ponselnya sudah
ada di 29%. Dia buru- buru pergi dengan berlari. Dan Nara, dia diam-diam
mengikuti Sese dari belakang.
“Gue ke kelas sebentar ya.”
“Lo mau ngapain Se?”
“Gue mau ambil charge, tapi balik
lagi kok.”
“Perlu gue temanin nggak Se?”
“Apaansih Nu, gue bisa kali sendiri.”
“Mana tega gue biarin cewek jalan
sendiri. Kelihatan banget jomblonya ya kan?”
“HAHAHAHAHA.”
“Kampret lo Nu. Udah ah bye.”
Sedangkan
di bangku kantin sebelah, Nara meminta izin untuk keluar kantin kepada
teman-temannya dengan alasan pergi ke koperasi.
“Gue cabut bentar ya.”
“Lo mau kemana Nar?”
“Gue mau ke koperasi udah ditungguin
sama Bang Gito.”
“Tapi lo balik lagi kan?”
“Iya, santai aja.”
Nara
berlari megikuti Sese. Dan di depannya, Sese juga berlari mengejar waktu untuk
mengambil chargernya yang tertinggal di kelas. Di depan koridor kelas IPS, Sese
harus bertabrakan dengan segerombolan anak-anak yang tidak sengaja tertabrak
oleh Sese. Namun masalah ini menjadi begitu rumit.
“WOY LO PUNYA MATA KAN?”
“Sorry gue nggak sengaja. Lo nggak
apa?”
“Masih bisa lo bilang nggak apa? Lo
nggak lihat tangan gue sakit!”
“Iya gue minta maaf. Bentar lagi juga
sembuh kok.”
“EH LO MAU CABUT GITU AJA????”
“Apalagi sih? Gue rasa urusan kita
udah selesai.”
“Lo nggak usah sok banget gitu lah!”
“Maksud lo apa?”
“Lo harus tanggung jawab. Tangan Ina
sakit.”
“Perlu gue bawa ke rumah sakit? Atau
sekalian di operasi?”
“SONGONG AMAT LO.”
“Males gue ngeladenin orang kayak
kalian!”
“JANGAN PERGI LO!” Ina memegang
tangan Sese erat dan mencegahnya utuk beranjak.
“Lepasin gue.” Sese mengelak dan
mencoba melepaskan pegangan tangan yang membuat pergelangan tangannya menjadi
merah.
Tiba-tiba dari arah selatan terdengar
suara seseorang yang membela Sese, dan itu, membuat orang-orang yang melihatnya
menjadi tertuju pandangannya kepada orang itu. Dia adalah Nara.
“LEPASIN SESE.”
“Nara? LO NGGAK USAH IKUT-IKUTAN!”
“LO MASIH BELUM PAHAM JUGA? LEPASIN
SESE!”
“NGGAK, GUE NGGAK AKAN.”
“LO MAU GUE LAPORIN KE GURU BK?”
“CUPU LO!”
Dengan emosi yang memuncak, Nara
menghampiri Sese dan melepas genggaman. Dia menggandeng Sese untuk pergi dan
masuk ke kelas. Namun Sese segera melepas pegangan Nara, karena dia tidak enak
hati dilihat begitu banyak orang.
“Ra, lepasin gue.”
Narapun enggan melepaskan tangannya.
“NARA, LEPASIN GUE.”
Sesepun berhasil melepas pegangan
tangan itu. Dia segera berlari dan meninggalkan Nara. Namun Nara tetap Nara,
dia tidak bisa membiarkan orang yang mulai disayanginya pergi tanpa alasan. Dan
marah tanpa sebab. Tentu dia bertanya, entah bagaimana cara Nara menanyakannya.
“SE.” Panggilan Nara kepadanya
membuat langkah kakinya terhenti.
“Lo marah sama gue?” tanya Nara, yang
membuat Sese masih bungkam seribu bahasa.
“Gue minta maaf.” Nada Nara yang
semakin mengecil membuat Sese menjadi merasa kasihan. “Nggak seharusnya gue
gini ke Nara. Dia nggak salah. Kenapa gue jadi gini? Seolah-olah gue nyalahin
Nara.” Ucap Sese dalam hati. Kemudian, Sese berbalik arah.
“Nggak. Lo nggak perlu minta maaf.
Disini nggak ada yang salah.”
“Gue jelas-jelas salah Se. Kalau gue
nggak ajak lo nonton, pasti nggak ada gossip ginian yang bikin lo jadi gerah.”
“Ini bukan kali pertama gue di
gossipin. Udahlah Ra, gue biasa aja kok.”
“Tapi Se…..”
“Lo kenapa jadi gini sih? Kita kan
cuma teman. Merekanya aja yang kelewatan. Yang tahu perasaan kita gimana kan
cuma kita, bukan mereka.”
“Se…..”
“Gue masuk ke kelas dulu mau ambil
charge.”
Sese
pun beranjak dari koridor kelas, dan segera masuk ke kelas. Dia mengambil
charge yang tertinggal dan kembali lagi ke kantin. Sedangkan Nara, dia pergi ke
koperasi. Sebenarnya Sese tidak tega melihat ini. Pertemanannya dengan Nara
menjadi renggang semenjak gossip tentangnya dan Nara. Dia tidak ingin ini
terjadi. Nara adalah seseorang yang paling mengerti Sese. Jika diamnya Sese
selalu ada yang disembunyikan. Mereka sudah begitu dekat. Lantas saja, ada
sedikit rasa sayang yang timbul diantara mereka. Namun mereka berdua begitu
kompak dalam hal menyembunyikan. Meskipun mereka seringkali terlihat tidak
akur, namun di lain itu mereka begitu dekat saling mengingatkan dan mengobrol.
*
Yang
dilihat oleh Sese, Nara menjadi berubah sikapnya. Dia tidak lagi mengirim pesan
kepada Sese setiap harinya. Dia tidak lagi mau berbicara kepada Sese meskipun
mereka berada dalam satu kelas. Segalanya menjadi kaku. Canggung. Dan entah
harus bagaimana Sese, dia berusaha untuk mengembalikan keceriaan mereka dulu,
tetap saja, gagal karena sikap ketus Nara yang mendadak.
“Se…. ntar les jam empat ya.” Ucap
Dias yang mengingatkan kemblai kepada Sese.
“Okey. Lo berangkat kan?”
“Iya. Samper gue ya Se.”
“Gampang.”
Dias
menunggu Sese datang cukup lama. Sese mengulur waktu hampir lima belas menit,
karena dia harus mencari pakaian yang harus dikenakannya.
“Diaaaas sorry gue telat banget.”
“Lo mah kebiasaan ngaret. Paham gue
Se.”
“Hahahaha ah lo memang sahabat
terbaik deh.”
“Udah ayok berangkat kita telat
banget nih.”
Di
jalan, Sese sedikit berbagi cerita mengenai Nara, yang berubah drastis
sikapnya. Menjadi acuh dan tidak pengertian. Sese merasa jika ada sesuatu yang
terjadi hingga membuat dia dan Nara menjadi asing.
“Di, kok gue rasa Nara jadi berubah
gitu ya?” ucap Sese membuka percakapan. Dias masih terdiam menatap Sese. Sese
mempunyai insting jika Dias menyembunyikan sesuatu.
“Di?” Ucap Sese kembali memanggil
Dias.
“Gue lihat semenjak Nara tahu yang
masalah gue sama Tian, dia jadi ngejauh gitu. Gue nggak ngerti kenapa dia
tiba-tiba gitu.” Ucap Sese melanjutkan percakapannya.
Mereka
sampai di tempat les juga. Namun anak-anak belum datang dan guru pembimbing
harus menyelesaikan beberapa tugasnya. Sehingga Sese dan Dias memutuskan untuk
pergi ke alfamart membeli sebotol minuman.
“Se….”
“Ya?”
“Nara….”
“Kenapa dia?”
“Gue ada cerita tentang dia. Tapi
please banget lo jangan ngomong siapa-siapa.”
“Hah? Memang apaan?” Sese semakin
penasaran dengan ucapan Dias barusan.
“Ini baru gue yang tahu.”
“Ya okey. Jadi lo mau cerita atau
nggak?”
“Arum…. Dia…. Dia…..”
“Di, please banget lo mau ngomong dia
dia doang sampai sukses?”
“Tapi lo jangan marah ataupun galau
atau gimana ya Se.”
“Lo kayak nggak tahu gue aja sih. Nggak
lah. Gue nggak apa kali.”
“Arum dekat sama Nara.”
“Hah? Apa?”
“Ya… ya…. Udah deh gue nggak yakin lo
bakal baik-baik aja.”
“Nggak. Nggak. Lo harus cerita.”
“Kemarin, Arum cerita sama gue. Dia
juga kasih liat chatnya sama Nara. Nara bilang kalau dia sayang sama Arum. Arum
juga, dia nyaman sama Nara.”
Mendengar
cerita Dias barusan membuat jantung Sese meronta. Dia tidak mengerti bahkan
dibuat kaget dengan ucapan Dias. Sese tidak habis pikir. Mengapa Nara bisa
bertingkah seperti itu. Arum juga. Dia masih berpacaran dnegan Rizki namun
mengapa dia begitu penghianat.
Les
kali ini, Sese hanya bisa diam. Dia tidak focus memperhatikan pelajaran yang
disampaikan pengajar. Ini membuat Dias menjadi merasa bersalah. Apa yang
dipikirkan Dias tentang Sese benar. Begitu mendengarnya, Sese menjadi down.
“Se, are you okay?”
“Yaaaa. Gue nggak apa.”
“Tapi gue nggak yakin.”
“Apaansih Di.”
“Gue tahu perasaan lo gimana. Gue
pikir Nara ada perasaan sama lo. Tapi ternyata…..”
“Udah udah gue nggak mau bahas dia
lagi. Udah Di.”
“Se, maafin gue.”
“I am okay. Lo nggak perlu merasa
bersalah. Karena memang lo nggak ada salah.” Mata Sese mulai berkaca-kaca.
Namun dia tetap menahan agar tidak terjatuh. Dia harus terlihat baik-baik saja,
meskipun hatinya begitu teriris.
Sepulang
dari les, Sese masuk ke kamarnya. Dia merebahkan tubuhnya yang baru saja tadi
sore dibuat lemah dengan perkataan yang begitu menusuk hati. Dia tidak bisa
lagi menahan air matanya. Secara perlahan air mata itu berjatuhan. Sese
meluapkan segala kekesalan dan kekecewaannya melalui air mata.
Bunda
sepertinya memahami keadaan anaknya. Bunda segera menemui Sese yang berada di
kamarnya. Mencoba intermezzo agar Sese mau menceritakan segalanya kepada Bunda.
Namun lagi-lagi, Sese tipikal orang tertutup. Dia tidak bisa menceritakan
segalanya kepada Bunda, karena dia tidak mau menambah beban pikiran Bunda.
Keesokan
harinya Sese menemui Kiran yang kelasnya cukup jauh dari kelas Sese. Dia
mencoba menceritakan segalanya kepada Kiran. Dengan sewajarnya, Kiran terkejut
dengan tingkah Nara dan Arum yang begitu keterlaluan tidak memiliki hati.
“Kiraaaaaaaaaaan.”
“Seseeeeee. Lo kenapa?”
Sesepun meneteskan air matanya, “Gue…
gue galau banget Kir.”
Ternyata, dari dalam kelas keluar
Aldi dimana dia adalah teman satu geng Nara. “Lo ngapain nangis Se? Belum bayar
utang lo?”
“Heh Aldi diam dong. Sese lagi nangis
lo masih bercanda.”
“Diam lo Al. Gue lempar pake sepatu
mau lo?”
“Dih galak amat Se hahaha.”
“Udah lo cerita kenapa?”
Setelah Sese menceritakan segalanya,
tak lupa Kiran memberi saran dan nasehat. Sese menjadi tahu apa yang harus
dilakukannya. Dia kembali ke kelasnya, untuk mengikuti pelajaran olahraga pagi.
Dia tentu bersemangat, meskipun tidak dengan hatinya. Dia menjadi dingin jika
berpapasan dengan Nara.
“Se…. Kita balapan siapa yang bisa
sampai kelas itu yang terhebat.” Ucap Astu.
“Okey. Siapa takut.”
Merekapun berlari saling mengejar
siapa yang sampai di tempat terlebih dahulu. Sedangkan di belakangnya, diikuti
oleh Falla, Dias, dan Laras. Mereka juga ikut berlari. Tiba-tiba, Sese
menghentikan langkahnya dan membuat yang berada di belakangnya terjatuh. Dias,
Falla, dan Laras, juga Astu.
“Gilaaa.” Ucap Sese pelan.
“ADUHHHHHHHH SESE JANGAN BERHENTI
TIBA-TIBA GINI DONG.”
“SAKIT TAHU SE.”
“SESEEEEE!”
“Please tabok gue sekarang!”
“Se!”
“Parah.”
“Dia.”
“Ngeliatin lo.”
Dari
arah koperasi, terlihat segerombolan anak IPS yang menghentikan langkahnya tiga
meter tepat di belakang Sese dan teman-temannya. Mereka adalah Difta dan
teman-teman. Iya Difta, cowok IPS yang disukai Sese dari kelas sebelas akhir.
Dia ada di IPS 3. Difta mengarah pandangannya kepada Sese. Bengong melihat Sese
dengan menggigit the gelas yang ada di genggaman tangannya.
“Gue cabut.” Sese menjadi salah
tingkah. Teman-teman Sese baru tersadar jika daritadi, Difta memperhatikan Sese
hingga dia memberhentikan langkahnya. Memasuki ruangan, Falla, Dias, Laras, dan
Astu meledek Sese yang salah tingkah mendadak.
“CIYEEEEEE YANG DILIHATIN.”
“SAMPAI DOI BENGONG GITU.”
“UDAH GITU. KITA SAMAAN LAGI BERHENTI
TIBA-TIBA GITU.”
“SUMPAH GUE NGGAK NYANGKA KITA SUPER
AWKWARD BANGET.”
“HAHAHAHA TAPI LO SENANG KAN SE?”
“HAHAHA APAANSIH LO.”
“Eh ada apasih?” tanya Arum dan Indri
yang tiba-tiba mendekat, penasaran dengan yang sedang dibicarakan mereka.
“Nggak.” Jawab Sese singkat, kemudia
dia beranjak pergi.
“Se, tunggu.” Ucap Dias yang mengerti
bagaimana perasaan Sese.
Sese
berjalan cepat hingga dia tak sengaja menabrak Nara yang sedang berdiri di
tengah lapangan. Nara terjatuh. Dan setelah melihat Sese, emosinya memuncak,
dan dia memarahi Sese habis-habisan hingga Sese menangis.
“Aduuuh.”
“TUNGGU LO SE!”
Dan Sese hanya terdiam tanpa menoleh
apalagi meminta maaf.
“BEGO BANGET SIH LO! MATA LO DIMANA?
LO NGGAK LIHAT ADA GUE DISINI?”
Sese masih saja terdiam.
“LO PUNYA MULUT KAN MINTA MAAF ATAU
GIMANA?!”
“Gue nggak sengaja. Sorry.”
“LO KENAPA SIH? KALAU MINTA MAAF TUH
YANG IKHlAS. LO……”
“CUKUP RA. CUKUP!”
“LO GILA? KAKI GUE SAKIT!”
“SALAH APASIH GUE? LO BEGO-BEGOIN GUE
DIAM AJA. SAMPAI LO NGOMONG GUE GILAPUN, GUA MASIH DIAM. GUE SALAH APA? CUMA
KARENA NGGAK SENGAJA NABRAK DAN LO LUKA? LO BANCI APA GIMANA SIH? ITU CUMA LUKA
NGGAK SAMPAI BERDARAH!”
“JAGA MULUT LO SE!”
“CUKUP NAR, SE!” Kedatangan Dias yang
mmelerai perkelahian mereka.
“CUMA KARENA MASALAH SEPELE KALIAN
BESAR-BESARIN SAMPAI NGUCAP KATA YANG NGGAK PANTAS DIOMONGIN!” Lanjut Dias yang
menjadi emosi.
“DAN LO, NAR. LO COWOK. NGAPAIN CUMA
JATUH DAN LUKA DIKIT LO MASALAHIN SAMPAI NGEJATUHI SESE GITU? LO SEHAT KAN?”
“LO JUGA! JAGA MULUT LO DI!”
“KALAU MEMANG LO ADA MASALAH SAMA
SESE. NGOMONG. JANGAN DI PENDAM!”
“MAKSUD LO APAAN?”
“CUKUP! Udah Di, kita cabut aja.”
Diaspun
dibawa oleh Sese pergi dari lapangan yyang mungkin akan berakibat kacau bagi
mereka. Sese kembali ke kelas, dan segera berganti pakaian. Lalu mereka pergi
ke koperasi.
“Gue nggak habis pikir sama Nara
tadi.”
“Udahlah Di. Ngapain dibahas lagi?”
“Gue pikir, dia bisa jaga lisannya.
Tapi nyatanya?”
“Di…..”
“Siapa yang tega sih sahabat sendiri
dijatuhin gitu?”
“Aduduhhhh lo emang sahabat terbaik
gue!”
“Gue nggak mau lo kenapa-kenapa Se.”
“Aduuuuhh peyuukk cini peyukkk.”
Tanpa
sengaja, Sese bertabrakan dengan Difta di koperasi sekolah. Ini membuat mereka
menjadi canggung. Apalagi posisi Sese dan Difta yang saling tak melihat jalan.
“Eh sorry. Lo nggak apa?” tanya Difta
yang membuat Sese menjadi meleleh.
“Gue jatuh…..”
“Apa?” tanya Difta bingung.
“Jatuh ke hati lo.”
“Ahahaha lo baik-baik aja kan?”
“Se woy.” Ucapan Dias yang
menyadarkan lamunan Sese.
“Ehhhh. Gue nggak apa. Yaudah kita
cabut bye.”
Sese
dan Dias meninggalkan Difta begitu saja. Dia merasa malu karena celeposnya yang
secara jujur mengatakan jika dia mengangumi Difta. Difta yang merasa heran
hanya terdiam dan sesekali tersenyum saat mengingat apa yang Sese katakana
barusan. Bagi Difta, Sese adalah orang yang lucu.
Sese
dan Dias kembali ke kelas. Dan dia menghampiri Falla yang sedang duduk
sendirian di bangku belakang sambil memainkan ponselnya.
“Fallaaaaaaaa.”
“Lo kemana aja sih Se? Gue cariin
daritadi.”
“Gue habis dari koperasi sama Dias.”
“Oke. Nggak ngajak gue.”
“Apaan sih Fal, lagian Sese juga
nggak jadi beli minuman.”
“Memang kenapa?”
“Ini parah. Gue lagi jalan sama Dias
lagi omong-omongan gitu terus nggak sengaja gue tabrakan sama Difta.”
“WHAT? LO SERIUS SE?”
“Ngapain juga gue bercanda Fal. Lo
mah.”
“Lebih parah Sese spontan gitu
ngomong gue jatuh ke hati lo.”
“HAHAHAHA PARAH PARAH. LOOOO HAHAHA.
Terus Diftanya gimana?”
“Nggak tahu. Gue langsung cabut. Malu
gila.”
“Dia senyum-senyum gaje gitu.”
“Cie Sese. Bisaan banget nih bakal
ada perkembangan.”
“Yayaya semoga sih hahaha.”
Ketika
kegiatan belajar mengajar dilaksanakan, tepatnya mata pelajaran Bahasa Inggris.
Saat itu pula, hasil ulangan dibagikan. Sese begitu antusias dengan nilai yang
akan didapatkannya. Karena dia yakin, nilainya akan memenuhi targetnya.
“Se, lo dapat berapa?” tanya Itang.
“Alhamdulillah nih Sembilan. Lo
berapa?”
“Wih. Congrats Se. Gue dapet delapan
puluh enam nih.”
“Waw. Congrats juga buat lo. Nggak
jarak jauh kok beda empat angka doang.”
“Hahaha tetap lah gedean lo.”
Saat Sese sedang mengobrol
dengan Itang, dipandangnya Nara yang sedang sibuk dengan Arum. Mereka saling
meledek dan mencocokan nilai yang mereka dapat. Entah mengapa ini membuat Sese
menjadi gerah. Dia merasa jika, tidak pantas melihat keromantisan dua orang
dimana salah satunya masih ada ikatan dengan orang lain. Dia memutuskan untuk
pergi dan kembali ke tempat duduknya. Nara, menanyakan nilai Sese dengan
tiba-tiba.
“Lo dapat berapa Se?”
“Hah? Gue Sembilan. Lo berapa.”
“Gede amat. Gue tujuh puluh delapan.”
“Seenggaknya lo tuntas.”
“Iyasih.”
Sudah. Hanya itu saja. Tidak lebih,
percakapan yang mereka buat. Penuh dengan suasana dingin dan kaku.
Semenjak
hari itu, saat Sese mengetahui tentang Nara dan Arum, dia menjadi berubah. Dia
bukan lagi Sese yang selalu tertawa ataupun riang di depan Nara. Sese menjadi
orang yang begitu serius, bahkan saat bertatap muka dengan Narapun, dia merasa
begitu malas. Untuknya, bagaimanapun keadaannya, dia harus jauh dari Nara.
Bukan karena apapun, hanya ingin menjauh dari saat sakit yang berlanjut.
Hari
demi hari berlalu. Nampaknya keakraban antara Sese dan Nara tidak bisa
merenggang begitu lama. Mereka kembali berbicara. Mereka kembali dekat. Mereka
kembali seperti sedia kala. Namun, sesuatu berubah. Nara, mengetahui tentang
masa lalu Sese dan Tian.
“Lo mau bikin rangka DNA kan Tang?”
“Iya. Kenapa?”
“Gue ikut dong sama Sese.”
“Boleh. Tapi bagi tugas ya.”
“Kita harus ngapain?”
“Lo sama Sese cari manik-maniknya,
gue sama Nara cari tongkat kayunya.”
“Okeylah. Gampang.”
Ketika
Falla dan Itang selesai berbincang, Sese masuk ke kelas dengan terburu-buru.
“Se bentar.”
“Apaan Fal?”
“Lo buru-buru amat si?”
“Kagak. Gue lagi nungguin Nanik.”
“Nah kebetulan banget. Daripada lo
nganggur, dan DNA kita belum dibikin gimana kalau kita bikin sekarang?”
“Eh emang lo bisa bikin sendiri?”
“Nggak lah. Gue tadi ngomong sama
Itang. Kita bikin berempat sama Nara.”
“HAH? Dimana?”
“Itaaaaaang.” Panggil Falla kepada
Itang.
“Bikinnya di tempat Io aja ya.” Ucap
Itang dengan tiba-tiba.
“APAAAA?”
“SE?”
“FAL PARAH NIH. NGGAK NGGAK. GUE
NGGAK MAU.”
“Hahaha kenapa Se?” Tanya Itang.
“Tian?” Lanjut Nara.
“Apaansih nggak kok. Nggak lah gue
nggak mau. Disana kan banyak anak cowok yang kumpul. Nggak enak aja ceweknya
cuma gue sama Falla.”
“Iya tuh Sese benar.”
“Alasan aja lo. Gue tahu disana ada
Tian kan.”
“Apaansih.”
“Udah. Intinya gue tunggu kalian
disana.”
“Hmmmmm.”
Hampir
setengah jam Sese dan Falla membeli manik-manik, kemudian dia menuju rumah Io.
Disana terlihat ada Tian dan Arfi. Tian sedang belajar bermain gitar, dan Arfi
sedang sibuk dengan ponselnya. Tidak hanya itu, nampaknya Itang dan Nara sedang
sibuk mmebuatkan struktur DNA dibantu dengan Aldi.
“Lo lama amat Se.”
“Iya gue mampir beli molen sama
lutis. Tuh.”
“Itu Ian, dari Sese.”
“Nggak! Apaan.”
“Hahaha biasa aja dong Se.”
Tiba-tiba datanglah Janu dari dalam
rumah Io keluar bersama Io.
“Pilih yang disana apa yang disini.”
“Apaansih. Gue mau cabut.”
“Sini aja kali. Ini Tian. Se. Sese.”
Sese
merasa kesal dengan tingkah Janu, Io, dan yang lainnya. Mereka begitu
memojokkan Sese dan Tian. Sehingga Sese memutuskan untuk kembali ke rumah,
tanpa memikirkan rangka DNA yang sedang dibuat olehnya bersama Falla, Itang,
dan Nara.
Keesokan
harinya, Sese berencana untuk mengerjakan tugas fisika bersama Falla. Dia harus
mengalah dengan keadaan, karena Arum dan Indri meminta untuk ikut kerja
kelompok untuk menggarap tugasnya. Arum terus saja meminjam ponsel Sese, dan
dia membuka akun BBM Sese untuk melihat obrolannya. Dan tidak di sengaja, Nara
mengirimkan sebuah pesan kepada Sese lewat BBM, dan Arum lah yang membuka,
membaca, dan membalasnya.
Nara
akan datang bersama Io menyalin tugas fisikanya juga membawa DNA yang baru saja
di selesaikan oleh mereka untuk diberikan kepada Sese dan Falla. Membaca pesan
dari Nara membuat Arum begitu antusias untuk bertemu dengan Nara. Arum
buru-buru keluar dari rumah dan menunggu Nara datang. Sedangkan Sese, dia hanya
diam saja di dalam, berpikir tidak ada apapun yang terjadi.
Sese
kembali ke rumah sore hari. Dia merebahkan tubuhnya di tempat tidur
kesayangannya yang sudah menunggunya begitu lama hingga Sese pulang dari
sekolahnya. Dia memejamkan matanya, dan segala yang terjadi hari ini, terlihat
sangat jelas dalam pikirannya.
Matanya
kembali membuka ketika Sese mengingat tentang Nara dan sesekali Arum yang ikut
terpaut di dalamnya. Dia menghela napas, berpikir jika dia harus mengikhlaskan
segalanya yang terjadi. Sese melamun sebentar, dan dia kembali menangkap
bayang-bayang Difta. Tak lama dia tersadar, mencoba untuk membuang segalanya
tentang Difta. Cowok yang baru-baru ini
sering terlihat dalam pandangan Sese.
*
Sese berpikir untuk merefresh
pikirannya sebentar. Dia memutuskan untuk pergi keluar mencari udara segar.
Beranjak dari tempat tidurnya, lalu menyaut handuk yang menggelantung di hanger
kamar mandinya. Selesai mandi, Sese pergi ke lantai bawah. Bundanya yang sedang
bersantai sembari mengerjakan tugas kantornya, menyapanya.
“Kak,
mau kemana?” Tanya Bunda.
“Mau
keluar bentar Bun.”
“Sama
siapa? Adek belum pulang.”
“Memangnya
kakak harus pergi sama adek mulu? Udah ah pamit ya Bun.”
“Yaudah
hati-hati. Mau naik apa?”
“Kakak
bawa mobil aja, agak mendungan.”
“Yaudah.”
Sese
pergi menuju Mamoo Milk sendiri. Untuk hari ini, dia tidak mengajak Kiran
ataupun Falla, karena mereka sedang sibuk dengan acara keluarga masing-masing.
Sesampainya
di Mamoo Milk, Sese memesan minuman dan makanan yang akan dia makan. Sungguh,
Sese tidak mempedulikan dia datang tanpa teman ataupun pacar, karena
kebanyakan, yang bersantai di tempat ini adalah mereka yang bersama teman
ataupun pacarnya.
Ketika
Sese sedang menikmati minumannya, segerombolan cowok datang memasuki Mamoo Milk
yang seketika membuat pengunjung mengarahkan pandangannya kepada mereka.
Sedangkan Sese, dia sibuk dengan note booknya. Tentu, dia tidak
memperhatikannya, dan ini yang membuat anggota dari gerombolan itu merasa heran
dengan Sese. Mereka mendekat kepada Sese, dan ini membuat Sese benar-benar
merasa terganggu.
“Woy!” Ucapan salah satu anggota dari
gerombola itu yang membuat Sese benar-benar terkejut dibuatnya.
“Kenapa diam? Lo terpukau sama
kegantengan gue?” lanjutnya.
“APA? Lo siapa hah?”
“Oh lo nggak tahu kita siapa? Lihat,
begitu kita masuk, cewek-cewek disini semua ngarah ke kita. Kenapa lo nggak?”
“Lo gila ya? Itu bukan urusan gue!”
“Boleh juga nih anak.”
“MAKSUD LO APAAN? JAGA OMONGAN LO!”
Sese marah dan dia segera pergi, namun langkahnya terhenti karena melihat Difta
yang ternyata ada tepat di depannya. Namun Sese tetap tidak bisa mengontrol
emosinya, tanpa meninggalkan sepatah kata, dia pergi begitu saja.
Difta
benar-benar tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, hingga membuat
seseorang yang dia tahu tidak sengaja di koperasi sekolah begitu marah dan
meninggalkannya begitu saja. Lantas Difta bertanya kepada teman-temannya.
“Dia kenapa?”
“Tahu tuh. Gue bercandain malah pergi
hahaha.” Ucap Liut dengan tertawa.
Difta
merasa tidak enak hati kepada Sese, karena mereka adalah teman-teman Difta yang
kelakuannya kadang diluar dugaan hingga membuat teman satu sekolahnya menjadi
kesal dan marah.
Keesokan
harinya, tanpa di sengaja. Sese berjalan menuju ruang kelasnya dari gerbang
sekolah. Dlihatnya Difta, seseorang yang termasuk ke dalam gerombolan tadi
malam yang seketika membuat Sese kesal. Begitu melihat Difta, Sese segera
berjalan cepat menuju kelasnya. Diftapun, yang sempat melihat Sese, dia hanya
terdiam dan mengalihkan pandangannya.
Sepulang
sekolah, Difta terlihat berdiri di depan gerbang sekolah seperti sedang
menunggu seseorang bersama dengan Yiruz dan Odi.
“Dif, itu bukan anaknya?”
“Mana?” Dan Odipun menunjuk ke arah
Sese.
“Oh iya. Siapa namanya?”
“Setahu gue dia Sese.”
Sese
terlihat sedang sibuk dengan ponsel yang ada di genggamannya. Dia berjalan
sendirian, meskipun di belakangnya persis terlihat teman-teman satu kelasnya.
Difta segera mendekat ke arah Sese, dan sontak ini membuat Sese menjadi terkejut.
“Se?”
“Astagaaaaaaa. Lo ngapain sih?”
melihatnya, Sese berubah menjadi bernada tinggi. Teman-teman Sese, dan
anak-anak yang lain merasa penasaran dengan permasalahan antara Sese dan Difta,
yang mereka kira, tidak ada hubungan apapun selama ini.
Difta terus mengejar Sese yang
langkahnya begitu cepat, “Gue minta maaf atas nama teman-teman gue semalam.”
“Ok.”
“Lo
egois amat sih! Gue udah minta maaf bukannya nggak marah lagi!”
“Sumpah gue gedeg banget sama lo.
Pergi sono!” ucap Sese semakin kesal karnea keberadaannya terusik oleh Difta
dan teman-temannya.
Odi dan Yuriz tidak tinggal diam,
mereka membantu Difta untuk meminta maaf kepada Sese. “Se, bisa kali dimaafin.”
“Udah kok.”
“Jarang-jarang tuh Difta minta maaf
ke cewek sampai mohon-mohon gitu.”
“Bodoamat.” Jawab Sese singkat.
“Cabut yok!”
Nampaknya,
bunda tidak bisa menjemput Sese di sekolah karena meeting mendadak. Terpkasa,
Sese harus menunggu di halte sekolah untuk mencari taksi. Dilihatnya oleh
Difta, Sese telrihat berdiri sambil memegangi kepalanya dengan kertas yang ada
di genggamannya karena kepanasan. Tidak tinggal diam, Difta segera mendekakat.
“Se….”
“Please banget udah gue maafin. Lo
pergi aja sekarang!” ucapan Sese, seketika membuat adik kelas dan teman
seangkatannya mengarahkan pandangannya kepada Sese.
“Ayok pulang sama gue.”
“Nggak mau. Lo siapa kenal aja
nggak!” lagi-lagi, ini membuat mereka yang berada di sekitar halte sekolah
merasa penasaran tentang obrolan antara Sese dan Difta yang terdengar sedikit bertengkar.
Apakah mereka pacaran?
“Lihat, orang pada ngelihatin kita,
dan mereka ngomongin kita. Lo mau aja disini sendiri?”
“Yakin?”
“Yaudah gue cabut.”
“Brb tutup kuping dengerin gossip
kita hahaha.”
Mendengarnya, Sese menjadi semakin
kesal kepada sosok yang sedang berbicara dengannya. Tanpa pikir panjang, Sese
menerima tawaran Difta untuk pulang bersama. Tidak ada maksud lain, Sese hanya
tidak mau mendengar gossip aneh tentang dia dan teman seangkatannya, lagi.
“Tungguuuuu! Gue ikut.”
Sepanjang
perjalanan, Sese hanya diam. Difta merasa heran, seseorang yang membonceng itu
diam saja. Difta terus saja berusaha mengajaknya berbicara, namun lagi-lagi.
“Se woy Se!”
“Se…..” Difta menepuk dengkul Sese
pelan.
*Plukkkkkkk* kepala Sese
terjatuh di punggung Difta. Iya, dia tertidur pulas. Difta merasa jika dia
keberatan memikul kepala Sese di pundaknya, apalagi dengan posisi Difta yang
sedang mennyetir motornya. Lantas Difta
berhenti di sebuah tempat makan, dia merasa lapar.
“Woy kebo bangun lo.” Ucap Difta
membangunkan Sese.
“Ini bukan rumah gue! Lo mau
culik gue ya!” teriak Sese.
“Heh diam! Lo tidur kan sepanjang
perjalan, gimana gue mau tanya rumah lo dimana?!”
“Udah makan dulu aja gue laper.”
Lanjut Difta.
“Tapi gue mau pulang!” Sahut Sese.
“Yaudah gih pulang. Taksi banyak yang
lewat sini.”
Sese hanya terdiam dan Difta merasa
kasihan melihatnya sehingga dia kembali mengajak Sese untuk ikut makan
bersamanya.
“Udah makan dulu, baru balik. Ayok.”
Difta memaksa menyeret Sese untuk makan.
Setelah
selesai makan, Difta mengantar Sese. Namun dia harus kembali ke rumahnya dulu
untuk mengambil ponselnya yang tertinggal. Difta juga harus berganti pakaian
yang terpenuhi dengan keringat karena olahraga pagi tadi di sekolah. Untuk
pertama kalinya, Sese berkunjung ke rumah cowok yang baru di kenalnya beberapa
hari yang lalu.
Begitu
sampai di rumah, Difta mengenalkannya kepada bunda dan adik perempuannya yang
sedang ada di rumah. Ayah Difta sedang berada di Tortor untuk menjalankan
tugasnya.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
“Mah, mamas pulang.” Teriak adik
Difta yang bernama Aura. Setelahnya, dia memeluk Difta erat dan meminta untuk
di gendong.
Melihatnya,
Sese ikut bahagia, dan dia merasa sangat bersalah. Pikirnya, Difta si cowok
cuek, rese, ternyata dia adalah orang yang penyayang dan bertanggung jawab.
Lamunannya
membuat Sese tersadar karena Difta meminta Sese untuk segera duduk di ruang
tamu dan menunggunya untuk berganti pakaian. Sembari menunggu Difta, Aura
bermain dan sedikit demi sedikit mulai dekat dengan Sese. Tidak lama, Mamah Mei
keluar menyambut Sese.
“Baru pulang mas? Kok sorean.”
“Iya tadi mampir sebentar. Di luar
ada teman Difta tuh mah.”
Begitu keluar dari ruangan, Sese
member salah kepada Mamah Mei.
“Hallo tante.”
“Eh tante kira temannya Difta cowok
hehehe. Siapa namanya?”
“Sese tante.”
“Kakak pacarnya mas Difta ya?” Samber
Aura dengan tiba-tiba.
“Oh bukan cantikkk, kakak teman satu
sekolahnya.”
“Sama-sama anak IPS?” Tanya Mamah
Mei.
“Nggak tant, aku IPA. Karena kelasnya
berhadapan jadi bisa kenal hehehe.”
“Kok pulang sama Difta? Nanti Difta
antar kamu pulang? Oh iya, sudah makan belum kamu? Tante bikinin makan dulu
ya.”
“Iya niatnya gitu tapi Difta mau
ganti baju dulu hehehe. Sudah tant tadi di luar nggak usah repot-repot hehehe.”
“Yasudah tante ambilkan minum dulu ya.”
“Iya tante.”
Ponsel
Sese bergetar, terlihat sebuah panggilan masuk, nampaknya itu dari Bundanya.
Sese segera mengangkatnya.
“Assalamu’alaikum bun.”
“Wa’alaikumsalam, kakak sudah
pulang?”
“Lagi di rumah teman, sebentar lagi
pulang. Bunda udah selesai meeting?”
“Belum kak, yasudah hati-hati cepat
pulang ya, sudah sore.”
“Iya, bunda juga hati-hati ya.”
“Iya kak, see you.”
“See you.”
Tidak
lama, Mamahnya Difta keluar membawa segelas minuman diikuti belakangnya Difta.
“Sese nggak mandi dulu?”
“Oh nggak tante.”
“Orang nggak ada gantinya juga mamah
ih suka gitu.”
“Memangnya mamah gendut apa? Bajunya
juga pasti nggak kedean kok di pakai Sese. Iya kan Se tante nggak gendut?”
“Ahahaha nggak kok tante body goal
banget seriusan.”
“Nah mamah suka nih punya menantu
kayak Sese.”
“Ih mah apaansih!”
“Hahahaha.” Dan merekapun tertawa
bersama.
Selesai
mengobrol santai, Sese pamit bersamaan dengan Difta untuk mengantar Sese pulang
karena nampaknya obrolan hangat itu melenakan waktu yang terlihat sudah mulai
petang.
“Dif, sekarang aja yok udah sore.”
“Ya udah yok.”
“Tante, Sese pamit dulu ya.”
“Mah, aku nganterin Sese dulu ya.”
“Iya Sese main lagi ya kapan-kapan.
Hati-hati mas, bawa mobil aja udah sore ntar lanjut malam kan.”
“Iya.”
“Babay Aura cantikkkk.”
“Kakakkkkkk Aura masih pengin sama
kakak.” Ucap Aura menghalangi Sese pergi.
“Kak Sese harus pulang ntar dicariin
sama mamahnya.”
“Kakak pulang dulu ya, besok-besok
main lagi.”
“Apa? Emang gue bolehin lo main
kesini lagi?” Ledek Difta.
“Apaansih Dif.” Sesepun tersipu malu.
“Babay kakak cantik.”
“Babay adik cantik.”
Di
perjalanan, mereka terus saja mengobrol, dan ponsel Sese kembali mendapat
panggilan. Nampaknya itu dari Falla.
“Hallo Fal.”
“Se, gue nggak bisa nih PR-nya.”
“Gue belum di kerjain.”
“Lo lagi dimana emang? Banyak banget
gila.”
Mendapati tempat jualan martabak,
Sese meminta Difta untuk berhenti.
“Dif di depan berhenti ya?”
“Mana?”
“Itu martabak, gue mau beli.”
Falla merasa penasaran dengan siapa
dia berbicara.
“Se woy!”
“Eh sorry tadi gue lagi ngomong.”
“Lo lagi sama siapa? Kok Dif?”
“Hah? Lo salah dengar kali.”
“Nggak, jangan-jangan lo lagi jalan
ya kedengaran suara cowok.”
“Ngomong apasih lo, udah lanjut ntar
gue lagi di jalan. Bye!”
Setelah
Difta memarkirkan mobilnya, dia dan Sese segera keluar menuju tempat martabak.
Tak dikira, begitu banyak antrian. Difta merasa kasihan melihat Sese yang ikut
mengantri dan dilihatnya wajahnya yang sudah begitu lelah, apalagi masih dengan
menggunakan seragam OSIS.
Difta
menuju tempat makan roti bakar untuk membelikannya sebuah roti dan minuman
hangat sembari menunggu antrian.
“Se, makan nih.”
“Gue nggak lapar Dif.”
“Nggak, lo udah capek banget.”
“Lo apaansih sok perhatian.”
“Hmm gue nggak mau aja dilihatin
orang-orang, ‘Eh tuh cewek kasihan amat sama siapa sih dia’ kalo gitu gimana
coba?”
“Diftaaaaa. Buruan sini.”
Sese
pun memakan roti bakar pemberian Difta. Dan menunggu cukup lama, akhirnya
giliran mereka untuk memesan martabak.
“Se, lo mau rasa apa?”
“Gue coklat keju. Satu aja.”
“Memang siapa yang mau pesen dua?”
“Difta ih.”
“Hahaha.”
Mereka segera masuk ke dalam mobil.
Sese mengeluarkan dompet dari ranselnya dan mengambil sejumlah uang untuk
mengganti martabak yang dibelikan oleh Difta untuknya.
“Nih Dif, buat martabakanya.”
“Apaan sih lo.”
“Ya ini gue ganti martabaknya.”
“Nggak usah ngapain. Kek gue nggak
ada uang aja buat bayarnya.”
“Bukan gitu Dif, maksudnya tuh….”
“Ssssttt udah di makan aja itu
martabaknya, tanda perminta maafan gue sama teman-teman gue.”
“Hmmm okay. Thank you Dif.”
“Iya.”
Di
perjalananpun, Sese sibuk dengan memakan martabak kesukaannya. Difta hanya bisa
melihatnya tanpa memakan martabaknya karena dia sedang menyetir.
“Enak banget sampai nggak mau bagi?”
“Oh lo mau?”
“Hm.”
“Bilang dong.”
“Yaudah ambilin.”
“Ambil sendiri lah. Mandiri dong
elah.”
“Gue lagi nyetir susah kali.”
“Bodo amat.”
“Lo nyebelin banget sih.”
“Elah sensitive amat pak. Nih makan.”
Sese menyodorkan tangannya yang memegang martabak dan menyuapi Difta.
Mereka
sampai di rumah sudah petang. Sepertinya, Bunda Sese belum ada di rumah, dan
hanya ada adik Sese, Anji.
“Okay, sini.”
“Oh ini rumah lo?”
“Iya.”
“Jauh banget gila.”
“Siapa minta di antar? Hahaha wle.”
“Dih.”
“Nggak usah mampir ya, udah sore
lagian bunda belum pulang nih hahaha.”
“Dih serah lo.”
“Hahaha bercanda kali Dif.”
“Tapi gue serius.”
“Nggak enak amat hidup lo by the way,
thanks ya udah ngantar sampai rumah sama beliin martabak pula hahaha.”
“Ya deh yang penting lo seneng.”
“Bye Dif, hati-hati jangan ngebut.”
Sese
segera masuk ke rumahnya, dan dia di kejutkan karena Anji sudah berdiri
menunggu di gerbang rumah.
“Eh lo! Gila gue kaget.”
“Siapa tuh?”
“Teman.” Jawab Sese singkat sembari
berjalan masuk ke rumah.
“Bohong! Mau gue bilangin bunda?”
“Lo apaansih dek!”
“Itu pacar kakak kan? Ngaku aja!”
“Bukan, dibilangin teman juga. Nih
ada martabak.”
“Ogah!”
“Yaudah.”
Keesokan
harinya, Sese dan temna-teman satu kelasnya berniat untuk makan bersama di
sebuah restoran. Mereka merayakan hari jadi kelas. Sese pergi bersama Falla.
“Parah lo Se, ini udah jam empat. Lo
kebiasaan ngaret nggak suka gue.”
“Santai aja kali acara juga jam lima.”
“Tapi kan kita harus persiapan dulu.”
“Ngapain? Terima jadi aja udah
beres.”
“Ih lo mah nggak kasihan apa sama
teman-teman?!”
“Udah ayok buru kita mau debat berapa
hari.”
Di
perjalanan, Falla masih merasa tanda tanya dengan suara seseorang yang
terdengar di telinganya saat dia sedang menelephone Sese.
“Se…. gue mau tanya nih. Sumpah
penasaran.”
“Apaan?”
“Yang masalah kemarin sore waktu gue
telfon lo, itu suara siapa sih yang nyamber?”
“Lo kira petir pakai nyamber segala.”
“Hahaha serius Se. Difta?”
“Hah hmmm mmmm.”
“Iya kan? Beneran? Serius?”
“Lo ngapain kepo gitu coba?”
“Ini bukan lo banget. Biasanya lo kan
cerita sama gue apalagi masalah cowok tapi gue tungguin dari kemarin berharap
lo cerita ternyata nggak.”
“Hahaha.”
“Iya kan gue bener itu Difta?”
“Lo udah kayak peramal dah.”
“SERIUS DIFTA SE?”
“Ih, gue lagi nyetir nih focus lo
jangan teriak-teriak gitu.”
“Aaaaaaaaaaahhhhhhhh Sese oh my God,
gue nggak nyangka berasa mimpi.”
“Apaansih lo lebay amat.”
“Eh, gue pinjam eyeliner lo dong Se,
kan mau ketemu sama Amar hahaha gue harus terlihat cantik.”
“Dih gue aja cuek Cuma beginian
doang. Tuh di tas.”
Nampaknya
disana belum telrihat semua anak, baru terlihat beberapa. Tidak lama, datanglah
Nara dan Io diikuti oleh Itang dan Fania. Falla asyik mengobrol dengan Arum,
Sekar, Indri, Fania, dan Isti. Sedangkan Tika asyik mengobrol dengan Ayu,
Rosti, dan Aristy. Sedangkan Amar sibuk bercanda dengan Dhika, Io, Nara, dan
Itang. Hanya Sese yang sibuk dengan ponselnya.
“Hallo?” Sese mengangkat sebuah
panggilan masuk.
“Se?”
“Lo lagi?”
“Dih santai kali nggak usah pake
teriak kuping gue nih.”
“Ya sorry. Ngapain lo telfon gue?
Kangen ya? Ahaha.”
“Ampun pede amat lo. Gue mau ambil
jaket gue nih. Masih sama lo kan?”
“Lo modus kan mau main ke rumah gue? Lo
yang bilang sendiri di balikin kalo di sekolah aja.”
“Enak aja lo, iya tapi gue mau
pergi.”
“Kek berasa nggak ada jaket aja lo.”
“Itu jaket nggak pernah gue pinjamin
ke siapapun.”
“Lah bodo amat juga ngapain lo
pinjamin ke gue.”
“Kan…….. Udah gue ambil jaketnya
sekarang!”
“Nggak bisa, gue lagi nggak di
rumah.”
“Alasan doang!”
“Ngapain gue bohong nggak guna. Gue
ada acara sama anak kelas.”
“Mau lo nggak di rumah juga terserah.
Kan di rumah ada nyokap, bokap atau siapa lah.”
“Nggakkkkkk! Udah deh ribet amat lo
gue tutup telfonnya bye!”
Kekesalan
Sese berbicara di telephone, membuat Falla mendekat kepadanya, dan bertanya apa
yang terjadi.
“Are you okay?”
“Yes I am.”
“Kok lo kesal gitu sih?”
“Biasalah orang salah sambung.”
“Oh gitu.”
“Eh Se, rotinya dibawa lo ya!” Ucap
Arum.
“Hah? Nggak bisa lah.”
“Kan lo yang bawa mobil.”
“Yakali gue sendirian juga.”
“Nggak, lo sama Nara.”
“Apa?
Nggak nggak gue nggak mau.”
“Lo apaansih Rum!” Ucap Nara sedikit
kesal, karena dia asal tunjuk saja tanpa meminta pendapat.
“Lo nggak cemburu Nara berduaan sama
Sese?” Ledek Indri.
“Nggak lah kita kan teman ya Nar.”
Ucap Arum.
Sese
merasa gerah dengan kejadian ini. Dia
tidak mau berhubungan lagi dengan Nara apalagi harus satu mobil hanya berdua
bersamanya, dan tentunya dia juga harus menjaga perasaan Arum meskipun Arum
terus saja menutupi perasaannya.
Namun
Arum tetap memaksa, sehingga Nara pun mengalah dan Sese harus mengikuti Nara.
Nara bagian menyetir mobil Sese, dan Sese membawa kuenya di pangkuannya. Mereka
berdua berjalan paling akhir karena harus hati-hati agar tidak sampai terjatuh
dan sebagainya.
Di
sepanjang perjalanan, Sese hanya bungkam. Tak banyak bicara, hingga akhirnya
Nara yang membuka suara terlebih dulu.
“Rumah lo masih sama kan Se?”
“Nggak, belnya udah nyala lagi.”
“HAHAHA bukan itu, maksudnya lo belum
pindah rumah kan?”
“Belum lah. Lo nggak usah main lagi
ke rumah gue.”
“Memang kenapa? Pede amat lo siapa
juga yang mau main kesana.”
“Gue nggak terima orang kayak lo
bertamu di rumah gue.”
“Lo kenapa sih? Dendam sama gue?”
“Nggak lah ngapain. Karena gue tahu
kalau lo bertamu ke rumah, banyak makanan yang harus gue sediain buat menjamu
raja yang tak di undang.”
“HAHAHA anying lo tahu aja.”
“Liar amat omongan lo.”
“HAHAHA kayak lo dong.”
“Dih.”
Sesampainya
di tempat makan, mereka menghabiskan waktu hingga malam hari untuk
bersenang-senang bersama. Mereka begitu bahagia, seperti menghilangkan beban
pikiran tentang sekolah, sementara.
Ketika
hendak pulang, Nara meminta Io untuk pergi terlebih dahulu karena dia bersama
dengan Arum. Lantas, ini membuat Sese harus kembali mengantar Nara pulang.
“Gue sama lo Se.”
“Io gimana?”
“Dia antar Arum.”
“Okay. Nggak ada yang marah kan?”
“Lo jomblo kan?”
“Kampret lo Ra awas aja lo!”
“Hahaha.”
Sesampainya
di rumah Nara dan mengantarkan Nara pulang, Sese segera berpamitan kepada ibu
Nara. Nampaknya, Bu Suti, panggilan akrabnya merasa kasihan dan tidak rela jika
membiarkan seorang anak perempuan pulang sendiri malam-malam, sehingga dia
meminta Nara untuk memanggil Iqbal supaya menemani Sese pulang ke rumahnya.
“Kamu sendiri Se?”
“Iya bu.”
“Berani memangnya? Aduh ibu yang
khawatir nih. Udah malam.”
“Nggak apa, aku pakai mobil kan
kacanya hitam.”
“Kalau mogok di jalan atau ada apaan,
gimana coba? Nara, minta Iqbal buat menemani kamu mengantar Sese sana.”
“Udah ibu akunya malah ngerepotin
gini.”
“Nggak, ibu yang takut kamu
kenapa-kenapa.”
“Sese mana?” Tanya Iqbal.
“Ayok.” Lanjutnya.
Akhirnya
kembali ke sekolah, dengan wajah masih begitu lesu, Sese mau tidak mau harus
berangkat. Untuk kali ini, dia diantar oleh Anji karena adiknya yang super cuek
tapi diam-diam perhatian ini, takut jika kakaknya harus menyetir sendiri dengan
keadaan nyawa belum terkumpul penuh.
“Bun, adek berangkat ya.”
“Iya, hati-hati dek, itu kakak masih
merem tuh di sofa.”
“Ayok buruan pelorrrrrr!” Ucap Anji
sambil menarik Sese agar segera beranjak.
Tidak
heran jika Anji menjadi pusat perhatian di sekolah Sese, karena ketampanan dan
dia yang begitu berkharisma, banyak siswa di sekolah Sese mengidolakan seorang
Anji.
Sese
tahu jika setiap adiknya ke sekolah untuk mengantar Sese, Anji menjadi
perbincangan oleh sekeliling sekolah, sehingga dia menyuruh Anji untuk segera
pergi ke sekolahnya sendiri, dimana mereka tidka satu sekolah.
“Udah buru lo pergi telat yang ada.”
“Yaudah gue cabut kak.”
“Bae bae lo.”
“Shap.”
Di
perjalanan menuju kelasnya, dia kelupaan akan sesuatu. Jaket Difta tertinggal.
Apalagi, sore harinya Sese harus mengikuti kegiatan kerja kelompok bersama satu
kelasnya di rumah Falla.
Sepulang
sekolah, dia menunggu Difta keluar dari kelasnya.
“Woy! Cari Difta ya lo? Hahaha.”
Tanya Yuriz meledek.
“Dif, nih udah ada yang nungguin.”
Lanjutnya.
“Lo apaansih Citato! Berisik lo!”
“Awas aja lo Se panggil gue Citato
lagi. lo pacaran ya sama Difta hahaha.”
“Eh kampret pergi lo!”
“Ini Dif buruan udah ditungguin kok
sampai marah-marah nih gue di bentak segala.” Ledek Yuriz kembali.
Yuriz segera meninggalkan
Sese yang sedang menunggu Difta keluar dari kelasnya. Ruang kelas semakin sepi,
dan hanya beberapa yang masih berada di kelas.
“Ngapain lo ke kelas gue?”
“Dif….”
“Lo bawa kan jaketnya?”
“Nah itu masalahnya.”
“Apaan? Jangan bilang lo lupa bawa?”
“Nah itu.”
“SE LO GIMANA SIH JANJINYA KAN HARI
INI!”
“Santai dong. Yaudah kita ambil kan
bisa lo mah apa-apanya dibikin ribet.”
“Apa? Kita? Lo aja sono orang lo yang
ninggalin juga.”
“Dif, gue nggak bawa kendaraan.
Yaudah kalau nggak mau terserah!”
“Tapi kan itu jaket gue Se!”
“Yaudah makanya ayo diambil, sekalian
main ke rumah tadi bunda bikin makanan.”
“Tapi sore ini gue harus pergi.”
“Sore ini juga gue harus les. Makanya
ayo buruan balik, Difta………”
“Yaudah ayok.”
“Eh bentar.”
“Apalagi?”
“Gue nunggu di gerbang sekolah aja.”
“Kenapa nggak di parkiran sekalian?”
“Lo mau ada gossip kita bermunculan.”
“Dih gitu aja dipikirin. Yaudah
tunggu disitu.”
Sese
menunggu Difta di gerbang sekolah. Aman, tidak ada yang melihatnya masuk ke
mobil Difta. Di perjalanan, dia mendapat telephone dari Falla yang menunggunya
karenatak kunjung datang.
“Se, lo dimana? Ikut les kan?”
“Gue ikut. Masih pagi juga. Tapi gue
mampir ke tempat lo ambil charger.”
“Oh iya ini kebawa. Kirain lo nggak
ikut.”
“Udah pada disana apa?”
“Belum, baru ada Arum, Ayu, Rosti,
Laras, Dhika, Amar, Mail, Koni, Itang, Fania, sama Dias.”
“Oh yaudah ntar gue mampir.”
“Okay.”
Sese
meminta Difta untuk memberhentikan mobilnya di tempat Falla untuk mengambil
charger yang terbawa oleh Falla.
“Dif, belok kiri ya.”
“Mau kemana?”
“Ambil charger bentar doang.”
“Ya oke.”
Sesampainya
di rumah Falla, terlihat Io dan Nara tiba bersamaan dengan Sese. Namun mereka
tidak mengetahui jika Sese ada di dalam mobil yang tepat berhenti di depan
rumah Falla. Sese pun keluar dan berjalan terlebih dahulu, diikuti Difta
berjalan di belakang Sese.
“Yeh nih anak baru datang.”
“Apasih Mar. Falla mana?”
“Di hatiku hahaha.” Sahut Nara.
“Hahaha ya tuh bener.” Semua
bersorak.
Begitu melihat Difta, Amar dan Dhika
menyapa terlebih dahulu. Mereka benar-benar di kejutkan dengan kedatangan Difta
yang bersamaan dengan Sese.
“Eh bro, sini gabung.” Kata Dhika.
“Eh Dif.” Lanjut Amar.
“Lo sama Sese apa?” Tanya Dhika
penasaran.
“Iya tuh dia mau ambil charger
katanya.”
“Wih, sa ae tuh bocah hahaha.” Ucap
Dhika.
Mereka mengobrol bersama dengan Nara
dan Io juga mengenai bola dan pertandingan futsal, iya obrolan para cowok. Lain
dengan cewek, mereka sibuk untuk gossipnya.
“Lo sama Difta apa Se?” Tanya Laras
penasaran.
“Memang ada Difta? Mana?” Tanya Arum
penasaran juga.
“Seriusan Se?” Tanya Dias. Dan Sese
hanya menganggukan kepala tanda “Iya.”
Begitu mendengar pengakuan Sese,
Arum, Laras, dan Dias begitu antusias memojokkan Sese dan Difta. Tidak kalah,
begitu juga dengan Amar, Dhika, Io.
“Cie Sese, bisa kali di ajak masuk
Diftanya.”
“Hahaha apaansih lo nggak usah
kompor.”
“Ada siapa memang?” Tanya Falla yang
baru saja keluar dari dapurnya.
“Difta Se?” Tanya Falla kembali.
“Iyalah siapa lagi ya kan Se hahaha.”
Ucap Arum dan Laras.
“Tuh gue bikinin mie ajak Difta aja
sekalian.” Ucap Falla kepada Sese.
“Mienya udah siap keburu dingin.”
Sorak Falla kepada anak-anak yang masih ada di luar rumahnya. Dia meminta
mereka untuk segera masuk menyantap mie buatannya.
“Masuk yok bro.” Ajak Dhika.
Setelah
perut kenyang, Sese berpamitan untuk kembali bersama Difta pulang ke rumahnya.
“Gue duluan ya sama Difta.”
“Tapi lo les kan?”
“Iya dong.”
“Yaudah bae bae Dif.”
“Okay, duluan ya!”
Difta dan Sese berjalan
masuk ke mobil menuju rumah Sese, sedangkan di rumah Falla, mereka sibuk
membicarakan tentang Sese dan Difta.
“Mereka pacaran?” Tanya Nara
penasaran.
“Kenapa lo kepo tanya-tanya Nar?”
Tanya Dias kepada Nara yang sontak membuat Nara menjadi salah tingkah.
“Nggak.”
“Akhir-akhir ini mereka sering jala
bareng.” Ucap Falla.
“Serius lo? Kok kita nggak pada tahu
ya.”
“Sese aja ngumpet-ngumpet kalau bukan
gue yang tanya dia nggak bakal cerita duluan.”
“Mantap nih kalau Sese bisa dapetin
cowok kek Difta.”
“Iyalah beruntung banget yang jadi
pacarnya Difta.”
“Heh apasih kalian cakepan juga
kita-kita iya nggak bro.” Ucap Io yang seketika membuat suasana menjadi ramai.
“HAHAHAHA.”
Sesampainya
di rumah, terlihat mobil bunda yang terpakir. Sepertinya beliau sedang ada di
rumah.
“Assalamu’alaikum bunda.”
“Wa’alaikumsalam kak.”
“Dif, sini masuk. Duduk dulu ya gue
panggilin bunda bentar.”
“Iya.”
“Sudah pulang kak?”
“Iya bun *bersalaman* di depan ada
teman Sese.”
“Wah siapa kebetulan nih bunda bikin
cincau.”
“Yaudah bungkus buat teman Sese bun.”
“Siapa sih kak? Falla sama Kiran
apa?”
“Bukan, kalau mereka mah jelas
langsung nyerbu.”
“Hahaha kirain mereka.”
“Nanti juga kakak ke rumah Falla
les.”
“Bunda nemuin teman kakak dulu ya.”
“Iya.”
Bunda
Sese benar-benar di kejutkan dengan Difta. Pikirnya, Sese membawa teman
perempuan ternyata dia membawa teman cowok ke rumahnya, yang baru saja untuk pertama
kalinya bertemu dengan bunda Sese.
“Eh.”
“Hallo tante.”
“Oh iya hallo.”
“Aku Difta tant, temannya Sese.”
“Oh iya, tante bundanya Sese. Panggil
saja tante Ay.”
“Siap tant hehehe.”
“Nak Difta teman satu sekolahnya
Sese?”
“Iya tapi kita beda jurusan. Aku IPS
tant.”
“Oh iya, pantesan tante agak asing
soalnya teman Sese banyakan satu jurusan sama dia.”
“Iya tante hehehe.”
“Sudah makan? Tante bikin capcai sama
es cincau.”
“Wah udah tadi tant sama Sese sebelum
kesini.”
“Buuuun, tempat nasinya dimana?”
“Kakak mah kalau lagi dekat sama
cowok nggak cerita sama bunda. Cakep tahu.”
“Ih bunda apaansih ngomongnya kita
cuma temanan kali.”
“Ahahaha tante bisa aja.”
“Jangan gitu bun, berasa ngarep
banget yang ada Difta ke pedean digituin sama bunda.”
“Ahahaha nggak kok tant santai saja.”
“Iyakan ya Nak. Yasudah sebelum
pulang tante mau bawain capcai sama es cincau buat kamu ya.”
“Makasih tante tapi nggak usah
repot-repot.”
“Udah, kan sama mertua santai saja.”
“Ahahaha tante bisa saja.”
“Bunda ih jangan gitu marah nih kakakkkkk.”
“Yasudah yang penting bunda seneng.”
“Bundaaaaaaa!”
“Iya iya, cantikku.”
“Sorry Dif, nyokap gue memang suka
gitu bercandanya.”
“Perlu di aminin nggak nih.”
“Elah apaan lo!”
“Hahaha bercanda kok.”
“Yaudah gue ganti baju dulu ya sama
ambil jaket lo.”
“Okay.”
Setelah
itu Sese berpamitan untuk pergi les bersama Difta. Sese kembali ikut dengan
Difta untuk ke rumah Falla. Sesampainya di depan rumah Falla, Difta langsung
berpamitan kepada Sese untuk segera pergi.
“Gue langsung cabut ya Se.”
“Okay! Thanks Dif, hati-hati
nyetirnya.”
“Siap. Bye.”
Sese
segera masuk ke rumah Falla, nampaknya sudah banyak anak yang berkumpul.
“Lo diantar Se?”
“Iyalah sama Difta.”
“Dih apaansih kalian.”
Sementara
itu, di tempat yang berbeda, saat Sese duduk di samping Nara, Nara mencoba
menanyakan mengeluarkan rasa penasarannya.
“Se…”
“Yoooow.”
“Lo pacaran sama Difta?”
“Hah? Kagak lah.”
“Masa sih ngaku aja kali ngapain
sembunyi-sembunyi gitu.”
“Lo kira Perang Gerilya pakai
sembunyi-sembunyi.”
“HAHAHA anying lo.”
“Lo tuh ya bisa nggak sih omongan
nggak usah liar kayak gitu.”
“Lo jawab dulu pertanyaa gue.”
“Kepo cie kepo.”
“Apaansih. Lo pulang sama siapa? Gue
antar ya.”
“Gue nggak mau ngerepotin lo lagi. Gue
balik sendiri aja, atau nggak di jemput sama Anji kan bisa.”
“Oh gitu, sebenarnya sekalian gue mau
ke Citos.”
“Oh,
yaudah.”
“Daripada ngerepotin Anji, mending
sekalian aja.”
“Nggak usah Ra, lagian gue nggak mau lah
bikin Arun jealous atau gimana ntar dipikir gue apaan.”
“Lah lo ngomong apasih Se.”
“Please lo ngertiin gue Ra.”
“Se…..” Dan Sese menghindari
percakapan bersama Nara saat itu. Dia memutuskan untuk beranjang dari tempat
duduknya dan bergabung dengan Tika dan Ristya.
Sepulang
les, Sese meminta Anji untuk menjemputnya di rumah Falla. Mereka berdua pergi
untuk mencari makan sebelum kembali ke rumah. Tidak sengaja, Sese kembali
bertemu dengan segerombolan aneh dan menyebalkan itu.
“Bentar, lo cewek yang…..”
“Lo?!!!”
“Dif…. Ini nih cewek yang gue
ceritain ke lo.”
“Li udah dong! Gue……”
“Difta?”
“Se…”
“Dek ayok balik.”
“Kak mereka siapa? Katanya kita mau
makan?”
“Kakak bilang kita pulang ayok.”
“Kak?”
“Dek!”
“Se tunggu……” Ucap Difta mengejar
Sese.
“Ngapain sih Dif, memang lo kenal
sama dia?” Tanya Tama.
“Dia Sese teman satu sekolah gue kita
beda jurusan. Lo tahu gimana usaha gue buat bisa dimaafin? Disaat dia udah
maafin tapi sikap kalian tadi yang bikin dia jadi kesal!”
“Selow dong bro. Lo suka sama dia?”
“Sese tuh cewek yang beda dari yang
lain.”
“Gue nggak setuju! Semua cewek tuh
sama aja. Mereka bakal jual mahal buat bisa di kejar. Selebihnya ya lo tahu
sendiri.”
“Tapi Sese nggak gitu!”
“Kok lo jadi bela-belain Sese sih?”
“Okay, mungkin kalian berpikir
cewek-cewek akan jatuh hati bahkan disaat mereka lihat kita untuk pertama
kalinya. Tapi itu beda, nggak dengan Sese.”
“Kayaknya lo tahu banyak tentang
Sese.”
“Dia cuma teman satu sekolah gue.”
“Kalaupun lo ada perasaan lebih pasti
kita dukung Dif. Karena apapun yang lo suka kita juga akan mencoba buat suka.”
“Kalian apasih! Gue cabut!”
“Terus gimana cara kita buat bisa minta
maaf ke Sese teman itu.”
“Iya, gue merasa bersalah.”
“Bener banget. Kita yang duluan cari
ribut.”
“Karena mungkin kita terlalu
menyombongkan diri.”
“Gue ngerasa nggak sopan banget.”
“Kayak orang nggak ber attitude.”
“Jelas-jelas kita berpendidikan tapi
omongan dan tingkah kita bener-bener minus.”
“Difta marah ke kita.”
Keesokan
harinya, Sese tiba di sekolah lebih awal. Karena bunda belum membuatkan
sarapan, sehingga sesampainya di sekolah, dia langsung menuju kantin. Tidak
disangka, disana ada Difta, Yuriz, Odi, Hida, dan Wildar.
“Dif itu.” Tunjuk Yuriz kepada Sese
yang terlihat sedang berjalan namun sibuk dengan ponselnya.
Sese terus saja berjalan, namun dia
menoleh karena celetukan dari Hida dan Wildar. “Oh jadi cewek ini Dif.”
Difta hanya diam saja
mendengar perkataan teman-temannya, dan dia juga hanya melihat Sese yang terus
saja berjalan tanpa menoleh kepadanya, meskipun mungkin Sese tahu jika disana
ada Difta.
Sese segera menuju kantin
nomor satu untuk memesan rames, dan dia hanya duduk sendiri di temani Bu Dilah,
ibu kantin termanis versinya. Tidak di sangka, mereka meninggalkan kantin
secara bersamaan. Dan Difta mengalah membiarkan Sese untuk berjalan di
depannya.
Falla, Arum, dan Laras
sedang asyik mengobrol di teras kelas IPA 1, dan dia berubah haluan menjadi
kompor ketika melihat Sese datang bersamaan dengan Difta.
“SESEEEEEEEEEEEE! CIE DAH.”
“ASIKKKKKKKKKKK BERANGKAT BARENG LAGI
NIH.”
Namun Sese tidka
menghiraukan candaan Arum, Falla, dan Laras. Dia terus saja berjalan masuk ke
kelas dengan wajah begitu lesu. Melihatnya, Difta merasa tidak enak hati.
Tetapi dia juga berpikir agar bisa memberi Sese waktu untuk sendiri.
Melihat sahabatnya
menekukkan wajahnya, membuat Dias penasaran. Dia menghampiri Sese yang duduk di
bangkunya tanpa melepas ransel di pundaknya, dan terus saja sibuk dengan
ponselnya.
“Se, lo kenapa?”
“Nggak apa.”
“Nggak usah bohong. Lo ada masalah
apa cerita sama gue.”
“Gue nggak apa. Apaansih lo.”
“Dari awal lo masuk ke kelas, lo diam
saja disini tanpa ngomong apapun nggak ikut gabung sama teman-teman.”
“Males aja.”
“Yaudah kalau lo belum mau cerita.
Tapi kalau mau cerita, gue ada buat lo.”
Mendengarnya, Sese merasa beruntung
memiliki sahabat seperti Dias. Diapun tersenyum dan menganggukan kepalanya.
Bel
pulang sekolah berbunyi. Sese bergegas meninggalkan kelasnya tanpa mengucap
beberapa kata kepada teman-temannya, begitu juga kepada Falla, teman satu
bangkunya.
Nara
melihat sesuatu yang aneh ada pada Sese. Dia menghampirinya dan menanyakan
keadaan Sese.
“Se tunggu!”
“Lo kenapa?” Lanjut Nara.
“I’m fine.”
“Lo lagi ada masalah?”
“Gue lagi pengin sendiri Ra. Gue mau
balik.”
“Se, bareng ya sama gue.”
“Nggak, gue bawa motor sendiri.”
“Yaudah, gimana kalau gue main ke
rumah lo sekalian bikin PR hari ini?”
“Ra, lo ngerti nggak sih?”
“Mmmmm gimana kalau kita beli ice
tungtungreo?”
“GUE LAGI NGGAK PENGIN APA-APA! LO
BISA NGGAK SIH NGERTIIN GUE? GUE CAPEK RA!”
“Okay, kalau itu yang lo mau.”
Sese
segera meninggalkan Nara sendiri di depan loket pembayaran. Dia berlari menuju
tempat parkir sekolah, segera menyalakan mesin motornya dan pergi dari suasana
sekolah.
Falla
terus saja menghubungi Sese karena dia berpikir jika ada sesuatu yang sedang
terjadi pada diri Sese. Dia melihat Sese saat berlari pergi dengan
tergesa-gesa.
Keesokan
harinya, Sese harus mengantarkan laundry seragam sekolahnya, setelah itu dia
harus pergi ke bengkel untuk membetulkan beberapa mesin motornya yang
benar-benar harus di service.
Sungguh
ini adalah pagi yang entah untuk Sese. Motornya mogok tiba-tiba di jalan. Dia
tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa. Ponselnya tertinggal, dan mau
tidak mau, dia harus menuntun motornya sampai ke bengkel yang jaraknya lumayan
jauh.
Sedangkan
disaat lampu merah menyala, Tama bersama dengan Liut. Dio, dan Andi melihat
dari balik kaca mobilnya, Sese sedang menuntun motornya. Lantas setelah rambu
berganti berwarna hijau, mereka segera menepikan mobilnya dan turun. Sese
benar-benar terkejut dibuatnya.
“Astaga!” Sese menghindari mereka.
“Se tunggu!”
“Mau lo apasih? Dunia berasa sempit
banget dimana-mana harus ketemu cowok macam lo pada!”
“Se, okay yang masalah itu kita minta
maaf. Kita tahu kalau kita salah.”
“Ya syukur deh kalau kalian sadar.”
“Kita terlalu menyombongkan diri Se.”
“Yayaya.”
“Lo maafin kita kan?”
“Iya deh terserah kalian minggir gue
mau lewat.”
“Motor lo kenapa?”
“Mogok?”
“Biar kita aja yang bawa, lo naik
mobil.”
“Nggak perlu! Gue bisa sendiri.”
“Tapikan Se pamali kali nolak
kebaikan orang.”
“Wah parah bawa-bawa gituan gimana
gue mau nolak coba.”
“HAHAHAHA lo apaansih.”
Akhirnya dengan kejadian
tanpa sengaja dan tiba-tiba itu, mereka menjadi berbaikan dan mau berbicara
satu sama lain. Setelah membawa motor Sese ke bengkel, Sese, Liut, Tama, Dio,
dan Andi pergi menuju kantin bengkel untuk mengisi kekosongan perut, juga menunggu
motornya jadi.
“Kok lo bisa sih service sendiri.”
“Bener tuh Dio jarang-jarang kali ada
cewek yang mau nunggu buat bengkel.”
“Maksud kalian biasanya nunggu di
salon gitu?”
“HAHAHAHA lo memang keren kalau
masalah pikiran.”
“Dih garing lo hahaha. Eh udah jadi
tuh gue cabut duluan ya. By the way, thanks udah bawain motor gue yang mogok
jangan kapok okay hahaha.”
“HAHAHA tai banget gila bisa-bisanya
cowok cakep kayak kita bawa motor mogok.”
“Ini baru pertama kalinya buat kita.”
“Dih lebay lo makanya kebanyakan
nyakitin cewek tuh baru tahu rasa gimana capeknya.”
“Apa hubungannya.”
“Tau dah di hubungin saja siapa tahu
nomornya nggak sibuk hahaha.”
“HAHAHAHA GILA JOKER PARAH LO SE!”
“Hahaha udah ah bye gue duluan.”
“Okay, hati-hati salam buat Difta
nggak? Hahaha.”
“Siapa tuh hahaha.”
“Itu tuh hahaha.”
“Hahaha.”
Seperti
biasanya, di sore hari Difta tak lepas dari kumpul bersama gerombolannya di
markas mereka. Andi menyadari mood Difta yang sedang tidak baik tidak seperti
beberapa hari yang lalu selalu ceria.
“Dif, lo kenapa dah?”
“Nggak apa.”
“Lo mau tahu sesuatu nggak?”
“Apaan penting memang buat gue apa.”
“Ini tentang Sese.”
“Kenapa dia?”
“Tuh lihat O, dengar nama Sese
langsung dah.” Ledek Tama kepada Difta.
“Kita tadi ketemu dia di jalan. Dia
nuntun motornya yang mogok yaudah kita samperin dan kita bantu.” Jelas Andi
kepada Difta.
“Kita jelasin semuanya dan kita minta
maaf, ternyata bener, Sese orangnya enak diajak ngobrol ya kan bro?” Lanjut
Liut.
“Nah setuju tuh!”
“Sese nggak marah lagi sama kalian?”
“Nggak, dia maafin kita gitu aja.”
“Mungkin karena kita yang kelihatan
cakep.”
“Hahaha.”
“Tapi apa guna dia masih marah sama
gue.”
“Seorang Difta Admyaralgha bisa
kehilangan akal buat ngerayu cewek? Hahaha.”
“Hahaha bukannya itu keahlian lo.”
“Palalu.”
Akhirnya
teman-teman Difta membantu Sese agar dia bisa kembali berteman dekat dengan
Difta. Mereka merencanakan sesuatu yang bisa membuat Difta dan Sese bisa
bertemu di satu tempat dan satu waktu.
“Se, besok lo datang ke Kemang ya.”
“Ngapain?”
“Udah lo datang aja kesana gua udah
pesan tanya aja meja nomor 18.”
“Ogah gua!”
“Oh jadi kita nggak berteman lagi?!”
“Dih. Orang kagak jelas juga ngapain
gua kesana!”
“Udah lo datang aja jam tujuh malam
okay? Gua sama yang lain juga kesana.”
“Liat deh besok gimana.”
Sedangkan
dilain waktu, Liut mencoba menghubungi Difta, agar dia datang ke tempat yang
sudah dijanjikan juga dengan Sese.
“Dif, besok lo sibuk nggak?”
“Gua ada futsal nih sore sama
anak-anak kelas.”
“Jam tujuh lo bisa ke Kemang?”
“Nggak tahu sih, selesainya juga
mungkin jam tujuhan.”
“Yaudah yang penting jam tujuh lo
kesana ya?”
“Memang mau ngapain?”
“Biasa lah nongki.”
“Tapi lo nggak biasanya.”
“Udeh diam lo!”
Setelah
merencanakannya, Sese dan Difta setuju untuk pergi ke Kemang jam tujuh malam. Sese
pergi dengan menunggangi taksi, karena dia pulang les masih menggunakan seragam
sekolah. Sedangkan Difta, dia baru saja bermain futsal dengan teman-temannya,
tentunya dia menggunakan pakaian bola.
Nampaknya
Sese yang terlebih dulu sampai di Kemang. Dia segera menuju meja bernomor 18,
dan dilihatnya tidak tampak seorangpun yang duduk disana. Tentu dia segera
menelephone Tama yang kemarin menjanjikan untuk bertemu di tempat ini.
“Tam, lo dimana kok sepi sih?”
“Lo pesan makan aja dulu. Macet nih
Se.”
“Lo nggak ngerjain gue kan? Gue baru
banget pulang les masih pakai seragam.”
“Ya nggak lah. Lo tunggu aja bentar
lagi sampai kok.”
Lima
menit berlalu, namun tak kunjung terlihat batang hidung Tama. Dia masih sibuk
dengan ponselnya untuk mencoba menghubungi Tama yang sudah ditunggunya.
Sedangkan dari pintu masuk, terlihat Difta yang masih menggunakan pakaian bola
masuk menuju meja bernomor 18. Mereka dibuat terkejut ketika melihat satu sama
lain.
“Sese?”
“Difta?”
“Lo kok disini?”
“Lo juga, kok disini sih?”
“Gue ada janji sama anak-anak.”
“Siapa? Tama?”
“Kok lo tahu sih? Iya gue ada janji
sama Liut, Tama, Dio, sama Andi.”
“Kok bisa samaan sih?”
“Bentar-bentar.” Tampaknya Difta
mendapat sebuah panggilan di ponselnya.
“Ndi, gue udah sampai nih.”
“Sorry banget Dif, kita nggak jadi
kesitu karena ban mobilnya bocor. Ini kita lagi cari bengkel.”
“Posisi dimana? Biar gue nyusul.”
“Nggak nggak usah. Lo sama Sese aja
antar dia pulang. Santai kita berempat disini.”
“Tapi kan Ndi…. Perlu gue telfon
bengkel?”
“Santai bro Dio udah telfon
bengkelnya kok.”
“Okay….”
“Kenapa Dif?”
“Ban mereka bocor alhasil mereka
nggak bisa kesini.”
“Terus mereka gimana?”
“Udah telfon bengkel kok.”
“Oh gitu syukurlah. Yaudah gue balik
dulu.”
“Se….”
“Ya?”
“Lo nggak marah lagi kan sama gue?
Gue minta maaf masalah yang lalu Se.”
“Oh iya. Nggak, lo nggak salah,
justru gue yang salah karena udah negative thinking gitu.”
“Yaudah, gue antar lo pulang ya.”
“Nggak usah, gue bisa kok pulang naik
taksi.”
“Nggak lah anak sekolah masih pakai
seragam malam-malam apa kata supir taksinya.”
“Maksud lo apaan?”
“Hahaha kagak. Udah ayok.”
Salah
paham antara Difta dan Sese sudah terselesaikan berkat ide dari Liut, Tama,
Dio, dan Andi. Mereka terpaksa membohongi Sese dan Difta dengan alasan ban
bocor.
Keesokan
harinya, Sese berangkat menuju sekolahnya bersama dengan Kiran. Sese baru
ingat, jika dia memiliki pekerjaan rumah yang belum dikerjakannya, karena
semalam dia begitu lelah sehingga tidak sempat membuka buku pelajarannya.
Begitu ingat, Sese segera berlari dari parkiran sekolah dan meninggalkan Kiran
yang masih menangkring di motor.
“Ah lupa ini helmnya Kir.”
“SESEEEEEEEE TUNGGUIN GUE AAAAAAAAAA
GIMANA TURUNNYA SESE AWAS YA LO SESEEEEEEE!.”
Saat
Sese masuk ke gerbang sekolah, dia bertemu dengan Odi dan Yuriz yang sedang berdiri.
Namun Sese acuh, karena dia benar-benar sudah dikejar waktu.
“SEEEEE WOY SANTAI KALI.”
“YOOOOOOO.”
“EH INI WOY JATUH SEEEEEEE.”
Tidak lama datanglah Difta yang sudah
ditunggu oleh Odi dan Yuriz. Dia datang bersama dengan Hilda, Wildar, dan Tio.
Tentu Yuriz segera memberikan benda milik Sese yang jatuh tadi saat dia berlari
kencang.
“Nih Dif.”
“Apaan nih kok lo ngasih gue
monyet?!”
“Bukan buat lo, itu punya Sese.”
“Kok bisa sama lo?”
“Tadi kita liat dia lari gugup gitu
terus gantungannya jatuh.”
“Ada-ada aja tuh bocah. Yaudah ntar
gue yang ngasih.”
“Lo berani ke kelasnya Dif?”
“Iya woy kan anak IPA semua disana.”
“Kalau ada gossip tentang lo sama
Sese gimana?”
“Lo cari mati banget sumpah!”
“Santai lah. Istirahat kedua kita ke
kelasnya.”
“Dif, nggak nggak gue…..”
“Udah nggak usah ribut!”
Istirahat
kedua pun tiba. Beberapa siswa ada yang begitu keluar kelas segera menuju
masjid. Namun ada beberapa yang masih tinggal di kelas. Difta dan
teman-temannya masuk ke kelas Sese, dua belas IPA 1. Tentu, ini membuat
anak-anak di kelasnya begitu juga kelas tetangga merasa penasaran dengan
kedatangan Difta yang bisa dibilang jarang.
“Mar!” Sapa Hilda kepada Amar. Dan
seisi kelas dua belas IPA 1 pun mengarah pandangannya semua dengan kedatangan
Difta.
“Eh Difta tuh.”
“Gila cakep banget.”
“Parah nggak ngerti woy cakep
banget.”
“Ngapain ya dia kesini?”
“Woy Hil. Lo bawa rombongan kesini
mau ngapain?”
“Bangku Sese dimana?” Dan untuk
pertama kalinya Difta membuka suara di depan orang banyak yang melihatnya.
Meskipun mereka adalah teman-teman seangkatan Difta, namun dia seringkali
dikenal dengan cowok cuek, cool, dan sangat sangat jarang berbicara dan dia
lebih banyak diam. Tidak heran jika banyak siswa perempuan di sekolah yang
menyukainya karena orang yang terlihat misterius dan membuat penasaran.
“Tuh pojok kiri belakang.”
*senyum* di dalam hatinya Difta
merasa jika Sese adalah orang yang unik, dan menarik karena ada saja tingkahnya
yang membuat Difta seringkali tertawa. Tanpa pikir panjang, Difta segera
berjalan ke bangku Sese dan meletakkan gantungan monyet milik Sese di atas buku
yang tergeletak di mejanya. Lalu, dia segera keluar dari kelas untuk kembali ke
kelasnya.
Dari
arah berlawanan, datanglah Sese bersama dengan Dias, Falla, Fenia, dan Laras. Mereka
baru saja dari mushola untuk melaksanakan Sholat Dzuhur.tiba-tiba dsecara
bersamaan langkah Dias, Falla, Fenia, dan Laras terhenti, sedangkan Sese dia
masih berjalan dengan sibuk memakaikan gelang di tangan kirinya. Dia tidak
tersadar, jika segerombolan yang di dalamnya ada Difta, keluar dari kelasnya.
Difta
sudah berhenti berjalan karena melihat Sese yang sedang melangkah masuk ke
kelas. Difta dan Sese, mereka tepat berhadapan di pintu kelas. Dan di teras
kelas, terdapat segerombolan Pasukan Glidig yang terdiri dari Tian, Itang, Io, Mail,
Fian, Udin, Aji, Aldi, Janu, dan Tofik.
“Aduh.” Keluh Sese ketika dia merasa
jika ada sesuatu yang terputus. Segeralah dia menengok ke belakang. “Gelang
gueeeeee Diftaaaaaaaaaaaa!”
“LO APAANSIH GELANG GUE LEPAS!”
“MANA GUE TAHU BAKAL KESANGKUT DI JAM
TANGAN GUE!”
*Menghela napas* “LO PERGI DARI KELAS
GUE!”
“YAUDAH SIH!”
Sese
segera masuk ke kelas dengan perasaan kesal. Bagaimana tidak, gelang yang
terputus adalah pemberian Bella, sahabat kecilnya yang sekarang pindah ke pulau
seberang karena ikut bersama orang tuanya. Mereka berdua menjalin persahabatan
yang begitu erat hingga ditandai dengan gelang couple.
“Se, tadi Difta ke kelas kita.”
“Siapa peduli!”
“Tuh dia naroh apaan nggak tahu di
meja lo.”
“Hah apaan?”
Setelah
melihat gantungan monyet di mejanya, kekesalan Sese sedikit menurun karena setidaknya
Difta sudah menemukan gantungan monyet kesayangannya. Sepulang sekolah Sese
menyempatkan untuk berterima kasih kepada Difta dan teman-temannya.
“Wil tunggu!” Sese berlari mengejar
Wildar yang sedang berjalan menuju parkiran sekolah bersama dengan
gerombolannya selain Difta. Dia tidak melihatnya.
“Kalian, thank you udah nemuin
gantungan monyet gue.”
“Oh itu Odi sama Yuriz yang nemuin.”
“Tapi yang ngembaliin si Difta tuh.”
“Terserah kalian siapapun itu intinya
makasih banget.”
“Buat gue nggak?” seketika Difta
menyangkut dalam obrolan.
“Makasih!”
“Sama-sama!”
“Gue cabut!”
“Hati-hati!”
“Ya!”
Sese
menunggu Kiran di parkiran sekolah. Dia keluar dari kelas lebih lama karena ada
ulangan dadakan. Di parkiran sekolah, dia sendirian sedangkan yang lainnya
adalah Para Pasukan Glidig.
“Lo belum pulang Se?”
“Atau nggak berani pulang? Yok gue
antar ke rumah.”
“Diam lo!”
“Uh sewot banget. Kenapa lo?”
Sedangkan di tempat yang
sama, begitu juga dengan waktu yang sama, Sese harus melihat kisah percintaan
Tian dan Listi.
“Tian pulang yuk.”
“Kita duluan ya hehehe bye.”
Tidak mau diam, Janu pun
menggoda Sese karena dia melihatnya.
“Se, lo nggak ikut bonceng?”
“Ogah gue bukan cabe.”
“HAHAHAHA maksud lo Listi cabe?”
“Lo yang ngomong.”
“HAHAHAHA PARAH LO SE, JANU NGGAK
AMAN TUH NTAR KALAU TIAN DENGAR.”
“Yaelah, Tian juga.”
“Tapi lo sayang kan? Hahaha.”
“Dulu sih hahaha.”
“HAHAHAHAHA PARAH LO SE! SEKAK
MATCH!”
Setelah
menunggu Kiran cukup lama, akhirnya dia muncul juga. Sese dan Kiran segera
pergi dari tempat parkir sekolah. Tidak langsung pulang ke rumah, Sese mengajak
Kiran untuk menemaninya mencari bahan praktikum setelahnya makan di Food Court.
“Ini nggak lucu Se, kita udah bawa
baki beginian tapi tempat penuh semua.”
Odi
yang sedang menikmati makanannya, melihat Sese dan Kiran yang sedang berdiri
mencari tempat duduk. Lantas karena dua bangkunya kosong, dia memanggil Sese.
Lagipula, Sese adalah teman sekolahnya yang cukup dekat dengannya karena Difta.
“Se! *melambaikan tangan*”
“Nah itu Odi kebetulan banget.”
“Nggak, gue nggak mau sama Odi, Se.”
“Kenapa? Daripada kita nggak dapat
tempat makan, iya kan?”
“Hmmm okay kali ini gue ngikut lo.”
“Nah itu baru Kiran cantik.”
“IYE LO KALAU BEGINIAN BARU NGERAYU
GUE!”
“HAHAHA MWAH KIRANNNN.”
Odi pun kembali menyapa Sese dan
memintanya untuk gabung bersama dirinya.
“Se, gabung aja sini.”
“Lo sendirian Di?”
“Nggak kok tuh anaknya…..”
“Lo ngapain duduk di kursi gue?”
“Lo kan bisa duduk di sebelahnya!”
“Gue duluan yang duduk disitu!”
“Nggak! Gue nggak lihat lo tuh tadi
duduk disini!”
“Se…. Okay, gue ngalah!”
“Nah gitu dong Dif.”
Setelah
mereka menyelesaikan makan, segeralah Sese mengajar Kiran untuk kembali ke
rumah. Namun Difta mencegah Sese. Dia meminta Odi untuk pulang bersama Kiran
sedangkan Sese, dia pulang bersama dengan Difta.
“Se, udah yok pulang.”
“Tunggu! Sese balik sama gue.”
“Hah?”
“Siapa nama lo?”
“Dia Kiran. Lo bisa sopan dikit nggak
sih!”
“Sorry gue kan nggak tahu nama semua
anak sekolah Se!”
“Tapi kan bisa tanya baik-baik. Kiran
tuh sahabat gue!”
“Okay…okay… Gue minta maaf kalau
memang nggak sopan. Di, lo balik sama Kiran.”
“Terus lo gimana Dif?”
“Gue balik sama Sese.”
“What? Ogah bener gue balik sama lo!”
“Udah diam lo!”
“Bentar, bentar…. Lo pikir gue mau
balik sama lo?”
Tanpa basa-basi, Difta
segera menarik tangan Sese dan mengajaknya pergi dari tempat Odi dan Kiran
berada. Tentu Sese merasa kesal dengan Difta. Selalu saja Difta keras kepala
dan dia terlalu cuek hingga tidak bisa memahami situasi.
Mereka berhentilah di suatu tempat.
“Lo ngapain ngajak gue kesini?”
“Lo pilih gelang yang lo suka.”
“Gelang?”
“Iya. Gelang lo putus kan sama gue?”
“Tapi Dif, lo nggak akan pernah tahu
betapa berartinya gelang itu buat gue.”
“Berarti apanya? Disini banyak yang
jauh lebih mahal dari gelang lo itu.”
“Kenapa lo ngomong gitu?”
“Faktanya.”
“MUNGKIN GELANG YANG GUE PAKAI ITU
NGGAK SEBERAPA SAMA GELANG YANG LO PAKAI. PUNYA GUE MURAH, TAPI SEENGGAKNYA ITU
TULUS DIKASIH SAMA ORANG BUAT GUE!”
“Yaelah sensitive amat lo!”
“AWALNYA GUE MIKIR KALAU LO ORANG
YANG BISA MENGHARGAI ORANG LAIN. TERNYATA NGGAK! LO CUMA BISA MENGHARGAI UANG!
GUE SALAH MENILAI LO!”
“MAKSUD LO APAAN?”
“SEDIH SIH KALAU TAHU COWOK YANG KATANYA
BEGITU DIGILAI SAMA WANITA TERNYATA NGGAK BISA MENGHARGAI PERASAAN. LO BELI AJA
DAN BAGI KE CEWEK-CEWEK YANG SUKA SAMA UANG LO!”
“SE TUNGGU!”
Sese
segera berlari dan keluar dari tempat itu. Sedangkan Difta mengejar di
belakangnya. Dia tidak bisa menemukan Sese. Berlari kesana kemari hingga
akhirnya Difta memutuskan untuk kembali. Di sepanjang perjalanan, Difta terus
dan terus saja teringat akan kata-kata Sese yang seketika menghancurkan
hatinya.
“Kok lo udah balik sih?”
“Dif, woy!”
“Lo baik-baik aja kan?”
Dengan lamunan, Difta membuka suara.
“Sese. Dia itu cewek yang kayak apa sih?”
“Kenapa lo tiba-tiba tanya tentang
itu?”
“Benar tuh Wildar.”
“Gue juga nggak tahu sama pikiran gue
sendiri kenapa gue bisa tanya kayak gini.”
“Apa jangan-jangan lo ada perasaan
sama dia?”
“Nggak. Gue nggak mungkin suka sama
cewek kayak dia. Dia itu aneh, tapi….”
“Tapi apa?”
“Kenapa disaat gue lagi sama dia, gue
bisa benar-benar bahagia, ketawa, bahkan kadang sampai lupa kalau kita tuh
bukan apa-apa.”
“Lo dulu bilang kalau nggak ada cewek
yang menarik menurut lo di sekolah kita kan?”
“Hilda benar. Tapi kenapa sekarang lo
yang jadi masuk ke perangkap permainan lo?”
“Awalnya gue penasaran, ternyata
nggak terasa kalau gue juga ikut kebawa.”
“Jadi lo mulai ada perasaan sama
dia?”
“Gue paham Dif, Sese dia orang yang
baik, asyik juga, dan kadang dia susah buat ditebak. Tapi lo harus ingat, ada
Rani. Orang yang masih lo pertahanin mati-matian.”
“Dan lo mau lepas dia gitu aja?”
“Gue balik duluan.”
Difta
begitu bingung dengan perasaannya sendiri. Dia bahkan berpikir jika dirinya
bukanlah diri yang dia kenal. Difta merasa kepalanya sangat berat. Dia tidak
mengerti apa yang sebenarnya sudah meracuni pikirannya, yang setiap malam susah
terlelap dalam tidur hanya karena memikirkan cewek satu sekolah yang
dikenalinya secara random.
Difta
berpikir jika dirinya sudah hilang akal apabila hingga jatuh hati kepada Sese.
Pikirnya, banyak wanita diluar sana yang mendekatinya, namun mengapa Sese yang
memenangkannya? Bahkan hanya wanita sederhana. Nampaknya, kesederhanaan dan apa
adanya Sese yang membuat Difta mulai jatuh hati kepadanya.
*
Keesokan
harinya, Sese yang berseragam olahraga tidak sengaja bertemu dengan Difta di
kantin sekolah. Seperti biasanya, jika Difta yang segerombolannya sudah datang
ke kantin, tidak hanya satu angkatan saja, bahkan hingga satu sekolah
mengarahkan pandangannya kepada mereka. Begitu menarik perhatian.
Tidak
dengan Sese. Dia sama sekali mengacuhkan da mengalihkan pandangannya kepada
Difta, walaupun sebelumnya dia adalah seseorang yang dia kagumi karena
kerendahan hatinya, bukan ketampanannya seperti yang orang lain sukai dari
Difta.
Difta
tahu jika disana terlihat Sese yang sedang duduk menyantap bakmie gorengnya.
Kemudian Difta memilih bangku kantin yang dekat dengan Sese. Dan lagi-lagi ini
membuat para penggemarya merasa cemburu.
“Bu, pesan bakmie goreng sama es teh
saja, lima.” Ucap Difta memesan makanan.
Setelahnya, Difta mendekat ke bangku
Sese. “Se….”
Nampaknya Sese merasa risih dengan
yang di lakukan Difta. Dia adalah tipikal orang yang tidak bisa diganggu
apabila sudah berhadapan dengan makanan. Apalagi posisi Difta yang sudah
membuatnya kesal kemarin sore. Lantas Sese segera meminta kepada Laras dan Dias
untuk berpindah bangku bersama dengannya. “Di, Ras, pindah yok ke sebelah.”
“Tapi Se, itu ada Difta.” Ucap Dias.
“Ya terus? Kalau lo mau disini juga
terserah.” Kata Sese dengan cueknya.
“Yaudah kita ngikut lo.” Ucap Dias
mengalah.
“Lo nggak perlu pergi. Gue aja yang
pergi.” Kata Difta yang sontak memberhentikan langkah Sese. Sese tidak diam
begitu saja, dia membalas perkataan Difta yang dilontarkan untuknya.
“Lo aja yang duduk disini. Karena
orang-orang biasa ngalah buat lo kan?” Perkataan Sese seketika membuat Difta
termenung sebentar. Dan Sese memilih melanjutkan langkahnya bersama dengan
Laras dan Dias.
“Dif, udah dong lo jangan bawa
masalah lo disini. Lo nggak lihat banyak yang kelihatin kita disini. Jangan
bikin masalah.” Ucap Wildar yang mencoba meredakan emosi Difta.
“Udah udah kita makan dulu udah jadi
nih bakmienya.” Kata Yuriz.
Sedangkan
saat Sese berjalan menuju kelasnya, masih di kantin sekolah, dia bertemu dengan
Pasukan Glidig dimana disana ada Tian. Tentu, ini membuat yang lainnya mulai
mengerjai Sese dan Tian.
“Ekhemmm Tian disini.”
“Lo nggak mau nengok Se?”
“Sombong benar lo.”
“TIAN NIH SE!”
Keramaian inilah yang
membuat Difta merasa terganggu. Dia menengok karena mendengar nama Sese disebut
disana. Tanyanya, ada apa antara Sese dan Tian?
Tidak kalah dengan Difta.
Tian adalah anggota kelompok Pasukan Glidig. Dimana group ini adalah sekumpulan
cowok yang begitu digilai oleh adik-adik kelasnya.
Sepulang sekolah, Falla
mengajak Kiran dan Sese untuk menonton pertandingan futsal sekolah. IPA lawan
IPS. Dia begitu antusias karena Amar ikut terlibat dalam pertandingan tersebut,
meskipun posisinya adalah sebagai panitia penyelenggara.
“Se, pulang sekolah nonton futsal ya
pleaseeeeee.”
“Males gue.”
“Please Se disana kan ada kelas kita,
lo nggak mau kasih semangat ke mereka?”
“Udah banyak kali yang nyemangatin.”
“Ada Tian. Lo nggak mau lihat dia?”
“FAL PLEASE NGGAK USAH BAWA-BAWA
TIAN.”
“Ya… Ya… Okay sorry. Tapi gue udah
janji sama Amar kalau gue mau nonton.”
“Yaudah okay gue mau nemanin lo.”
“Nah gitu dong baru sahabat gue
hahaha ajak Kiran sekalian aja kali ya.”
“Nah!”
“Jam empat ya Se.”
“Hah? Nggak bisa lah jam lima gue
baru sampai.”
“Lo mah kebiasaan ngaret. Kalau
pertandingannya udah selesai gimana?”
“Yaudah.”
“Seseeeee! Yaudah gue tunggu sama
Kiran disana.”
“Okay.”
Karena
Sese harus pergi dulu membeli bahan untuk membuat kue, sehingga dia bisa pergi
menonton futsal pukul lima sore. Sesampainya disana, dia begitu kebingungan
mencari Falla dan Kiran apalagi supporter yang begitu banyak dan Sese ada di
keramaian. Dia terus saja mencoba menghubungi Kiran dan Falla namun jaringan
yang sangat tidak memungkinkan. Untung saja Amar melihat Sese, segera dia
memanggil dan menghampirinya.
“SEEEE, SESEEEEEE!”
“Yaelah lo lagi.”
“Kok lo sendiri? Falla mana?”
“Dia sama Kiran. Udah disini kok tapi
gue belum nemuin dia.”
“Gue nggak tahu kalau dia udah sampai
disini. Yaudah lo ikut gue.”
“Kemana?”
“Gue cariin tempat lah, tribun
penuh.”
Ketika
Amar dan Sese berjalan menuju basecamp, Dinda memanggil Amar untuk suatu
keperluan sehingga dia meminta Sese untuk masuk ke basecamp IPA. Setelah dia
masuk ruangan tersebut, dilihatnya Listi dan teman-temannya sedang mengobrol
asyik bersama dengan Tian, sehingga Sese memilih untuk keluar ruangan tersebut.
Dari
arah belakang, seseorang mendorong Sese dan membuat dia terjatuh dan terluka di
kakinya karena terbentur. Odi yang sedang mondar-mandir karena sibuk
mebelephone, begitu melihat Sese, dia terus berlari menolongnya dan mencoba
membantu Sese untuk berjalan. Odi tahu jika tempat itu tidak memungkinkan untuk
Sese mengobati lukanya sehingga dia membawa Sese masuk ke basecamp IPS.
Disana
terlihat Difta sedang bersiap memakai kaos kaki futsalnya. Melihat Sese yang
kesakitan, membuat Difta melakukan pertolongan pertama. Darah terus saja
bercucuran dan Sese terus saja merengek kesakitan. Segeralah Difta mengambil
kain lingkar kepalanya dan digunakannya untuk menutup luka Sese.
“Tunggu gue ambil kain gue dulu di
tas.”
“Se, lo tutup mata aja kalau ngerasa
sakit.”
“Udah… Udah… Darahnya udah berhenti.”
Kata Difta yang mencoba menenangkan Sese, namun Sese masih memejamkan matanya
dan merengek.
“Se, udah ditutup lukanya.” Kada Odi
bingung melihat Sese yang masih merengek.
“Oh udah ya. TAPI LO NGGAK TAHU KALAU
ITU MASIH SAKIT!” Kata Sese masih merengek.
Difta
pun meminta Sese untuk tetap duduk di basecamp tanpa perlu ke tribun untuk
melihat pertandingan. Sese terus saja mencoba menghubungi Falla dan Kiran namun
ponsel mereka justru tidak lagi aktif.
“Disini aja ya.”
Hingga
selesai pertandingan, dia belum juga bertemu dengan Falla dan Kiran. Difta
merasa kasihan dengan kondisi Sese yang harus pulang ke rumahnya sendirian.
Sehingga dia meminta Sese untuk pulang bersama dirinya.
“Masih sakit kan?”
“Nggak!”
“Nggak usah bohong. Gue antar ke
rumah.”
“Gue bisa sendiri.”
Karena keras kepala Sese,
Difta mengikutinya berjalan di belakangnya. Benar, Sese tidak mampu berlajan
sendiri karena darahnya yang kembali keluar. Sehingga, Difta langsung saja
menggendong Sese, membawanya masuk ke mobil dan mengantarnya pulang. Namun
mereka pergi untuk memeriksakan luka Sese terlebih dahulu.
Tian
melihat Sese dan Difta yang berjalan keluar, dan dia juga melihat luka di kaki
Sese. Tian hanya diam. Lalu dia pergi.
Di
sepanjang perjalanan dia tidak henti-hentinya memikirkan Sese. Tian begitu
cemas denga luka yang dilihatnya tadi. Tapi dia tidak bisa berbuat apapun lagi,
karena Sese, seseorang yang sudah disia-siakannya begitu saja. Dia jauh lebih
memilih Listi, wanita yang dikenalnya lebih dulu daripada Sese. Dimana Listi
sekarang adalah pacar Tian. Mereka sudah dekat cukup lama. Hanya perasaan Sese
lah yang salah. Dia mencintai Tian, yang jelas-jelas sudah memiliki perasaan
lama terhadap Listi. Itulah yang membuat hubungan Sese dan Tian begitu asing.
Seperti layaknya orang yang tak saling kenal.
“Dif lo apaansih main gendong gue
aja!”
“Karena lo nggak bisa jalan.”
“Gue bisa sendiri.”
“Yaudah sih. Terus apa yang
dimasalahin sekarang?”
“Ya lo gimana sih Dif, jelas-jelas lo
gendong gue di depan orang banyak.”
“Apa yang lo takutin? Gossip?”
“Difta!”
“Udahlah kita ke dokter habis itu
makan.”
“Karena lo nggak tahu gimana
tertekannya gue dengan gossip yang bakal bermunculan.”
“Gossip belum tentu benar.”
“Dif!”
Difta
segera menyalakan mobilnya dan pergi dari tempat pertandingan futsal. Ketika di
jalan, Falla menelephon Sese karena dia sangat khawatir dengan keadaan Sese.
“Se, lo dimana?”
“Gue mau pulang.”
“Lo nggak apa kan? Kaki lo masih
sakit? Kenapa tadi lo nggak ketemu sama gue?”
“Lo apaansih Fal nggak usah panic
gitu. Gue nggak apa. Tadi signal nggak ngedukung gue banget makanya susah buat
menghubungi kalian.”
“Syukur deh kalau lo nggak apa-apa.
Lo pulang sendiri?”
“Nggaaak.”
“Di jemput bunda? Bukannya tadi lo
bilang kalau lo mau kesini naik taksi?”
“Mmmm…. Gue di antar.”
“Siapa? Difta?”
“Udah udah gue tutup dulu telfonnya
besok gue ceritain.”
“Lo mah ya! Yaudah deh cepat sembuh
ya!”
“Okay thank you.”
Difta
segera membawa Sese untuk berobat ke dokter. Setelah itu mereka pergi untuk
makan malam. Untung saja, kakinya sudah enakan, sehingga Sese sudah bisa
kembali berjalan meskipun pelan.
Disaat
Sese dan Difta memasuki restaurant tempat mereka akan makan, disana banyak
cewek-cewek yang begitu melihat Difta langsung menegur sapa, member senyum, dan
mulai membicarakannya.
Sese
dan melihat itu, hanya terdiam dan merasa jika apa uang dilakukan oleh
cewek-cewek itu hanya membuang waktu. Karena Sese adalah orang yang cuek,
sehingga dia biasa saja jalan di sebelah kiri Difta meskipun orang-orang
membicarakan tentangnya dan Difta.
“Gila lo artis apa gimana?”
“Gue aja nggak tahu.”
“Jujur ajasih gue risih mau makan
dilihatin dan diomongin gini karena sama lo!”
“Terus mau lo apa?”
“Lo bisa kali pisah meja sama gue.”
“Yakali. Udahlah dinikmati aja
makanannya. Cuek aja, bukannya lo biasa cuek.”
“Dih.”
Mereka
pun segera menyantap makanan yang sudah dipesannya. Difta benar-benar cuek
dengan kerumuman, begitu juga dengan Sese. Sampai selesailah mereka makan, dan
kembali untuk pulang.
Sese
harus pergi ke sekolah dengan diantar oleh bunda, karena kondisi kakinya yang
sedang dalam masa penyembuhan. Saat bel istirahat, dia berjalan menuju koperasi
sekolah untuk membeli penggaris karena miliknya patah akibat berebut dengan
Amar.
Tidak
di sangka, kelas IPA 2 baru saja selesai
berolahraga, sehingga di koperasipun ramai dengan cowok-cowok anak IPA 2.
“Mas, penggaris dong satu.”
“Yang biasa.”
“Iya nggak usah mahal-mahal.”
“Yaelah pelit amat lo.”
“Yang penting kan fungsinya sama.”
“Lo mah ya sukanya rapuh.” Tiba-tiba
Mail ikut masuk ke dalam percakapan.
“Apaansih lo nggak jelas.”
“Kayak kisah cinta lo sama Tian ya
nggak Se?”
“Hahahaha.” Semua yang ada di
koperasi pun tertawa.
“Apaansih.”
“Kaki lo udah sembuh?” Tanya Udin.
“Iyanih lumayan udah baikan.”
“Lo tahu yang nambrak siapa Se?”
Tanya Evan.
“Nggak lah gue nggak sempat lihat
orangnya saking banyaknya juga.”
“Yang nolongin lo siapa?”
“Odi yang bawa gue ke basecampnya.”
Tiba-tiba ponsel Sese bordering.
Entahlah untuk apa Difta menelephonnya padahal
jelas-jelas mereka satu sekolah dan kelasnyapun berhadapan. “APAAN?”
“Galak amat lo habis makan duri
salak?”
“Nggak lucu! Mau apa lo?”
“Santai buk. Ntar cepat menua yang
ada.”
“Lagian lo apa-apaan di sekolah
telfon!”
“Daripada kena gossip sama lo iya
kan?”
“Iyasih. Kenapa lo telfon gue?”
“Pulang sekolah lo traktir gue nggak
mau tahu.”
“Dih.”
“Lo nggak ada tanda terima kasihnya?”
“Jadi lo nolongin gue nggak ikhlas.”
“Bukan gitu woy! Ada film baru gue
pengen nonton.”
“Yaudah sono!”
“Dibayarin lo lah!”
“Lo kan banyak duit. Atau
jangan-jangan lo nggak ada yang nemenin ya hahaha.”
“Dih kalau ada cewek gue ajak juga
langsung mau kok.”
“Tapi gue nggak tuh!”
“Memang lo cewek?”
“DIF… Gue tutup telfonnya!”
Semua
anak di koperasi mengarahkan pandangannya terkecuali Tian. Dia sibuk dengan
membeli makanan yang tersedia di koperasi sekolah. Nampaknya mereka sangat
penasaran dengan siapa Sese berbicara hingga dia lupa dengan sekelilingnya.
Karena Sese merasa canggung dan aneh dengan situasinya, sehingga membuatnya
untuk segera meninggalkan koperasi sekolah, dan kembali ke kelasnya.
Seperti
percakapan di telephone beberapa jam sebelum kegiatan belajar mengajar usai,
Difta meminta Sese untuk pulang bersamanya. Nampaknya Difta tidak diam dengan
permintaannya yang belum diiyakan oleh Sese, sehingga saat bel pulang
dibunyikan, Difta kembali menelephone Sese.
“Lo dimana?”
“Gue masih di kelas.”
“Ngapain? Betah amat lo di kelas.”
“Kelompok kimia gue mau diskusi
bentar bahas praktikum besok.”
“Sampai jam berapa? Tiketnya ngantri
juga kali Se!”
“Lima belas menit doang kali. Santai
lah.”
“Lama bener. Gue tunggu di kantin
sekolah.”
“Sendiri?”
“Nggak lah.”
“Yaudah kirain hahaha.”
Setelah
diskusi kelompok mereka selesai, Sese segera berjalan menuju kantin sekolah
karena Difta sudah menunggunya.
“Se, lo buru-buru amat.”
“Bareng kali baliknya sama
kita-kita.”
“Kalian duluan aja, gue mau ke kantin
dulu.”
“Oh yaudah. Hati-hati ingat kakinya.”
“AWWWWWWW PERHATIAN BANGET SIH
KALIAN.”
Seperti
biasanya, sekolah sudah tidak lagi ramai, hanya beberapa yang masih di sekolah
seperti sedang mengikuti ekstrakulikuler ataupun sebagainya. Sampailah Sese di
kantin sekolah.
“Kok kalian disini sih?”
“Iyalah lo lama banget sih.”
“Gue ditungguin?”
“Bukan sama kita, tapi sama Difta.”
“Yaelah lagian ngapain juga kalian
masih nongkrong disini.”
“Yakali Difta sendirian nungguin lo
kek orang hilang aja.”
“Hahaha nggak apa sekali-kali coba.”
“Hahaha tuh Dif parah Sese nantang
lo.”
“Tau tuh gue lagi males ngomong sama
dia.”
“Yaudah gue cabut dulu ya. Sese udah
ada inih.”
“Ntar malam di tempat Liut jam
sepuluh!”
“Siap. Duluan Se. Hati-hati sama
Difta hahaha.”
“Hahaha.”
“Semoga aja dia nggak ngamuk ya.”
“Hahaha.”
Akhirnya Odi, Yuriz, dan
Wildar segera pergi dari kantin dan menuju parkir sekolah. Sedangkan Difta
masih berada di kantin bersama Sese. Meskipun kantin banyak di penuhi oleh adik
kelas yang akan mengikuti ekstrakulikuler. Dan lagi-lagi, adik-adik kelas
hampir mengarahkan pandangannya kepada Difta dan Sese. Merekapun mulai membuat
gossip aneh antara Difta dan Sese yang sedang berdua di kantin sepulang
sekolah.
“Udah makan belum?”
“Belum.”
“Yaudah pesan mau makan apa?”
“Lo udah makan?”
“Iya.”
“Opor?”
“Iya.”
“Bu, aku pesan soto sama es lemonnya
ya.”
“Iya bentar ya Cah Ayu….”
“Iya bu.”
“Cah Ayu apaan bu.”
“Apaansih lo Dif comment mulu dah.”
“Hahaha memang cantik iyakan Cah
Bagus?”
“Biasa aja bu.”
“Rese lo Dif!”
Ketika
sedang menunggu makanan Sese jadi, dia sesekali mengobrol dengan Difta dan
memainkan ponsel. Ada tiga adik kelas yang tiba-tiba saja menghampiri mereka.
“Hallo Kak.”
“Ohalloooo.”
“Kak Sese kok belum pulang sama Kak
Difta?”
“Iyanih kakak habis selesai kerja
kelompok.”
“Terus Kak Diftanya ngapain?”
“Nungguin Kak Sese ya?”
“Iya.” Jawab Difta singkat. Iya
seperti biasanya Difta. Di depan banyak orang dia tidak terlalu banyak bicara,
dia lebih memilih diam dan berbicara seperlunya. Itulah yang terlihat dia
sangat cool di depan orang-orang. Namun beda jika dia besanding dengan
sahabatnya, keluarganya, termasuk dengan Sese. Difta sangat cerewet dan banyak
bicara.
“Cieeeee pacaran ya, Kak?”
“Kagak. Kita teman kok.”
“Hehehe kirain. Yaudah duluan ya
kak.”
“Iyaaa.”
Setelah
Sese selesai makan, dia dan Difta segera menuju tempat parkir dan pergi ke
bioskop. Nampaknya di parkir sekolah masih ada beberapa anak dimana mereka
adalah teman-teman satu kelas Sese, Fenia, Indri, Ningrum, Ayu, Fifah, Arum,
dan Niken. Namun Sese tak melihat mereka. Dia segera masuk ke mobil Difta dan
pergi.
“Loh itu Sese kan?”
“Iya benar. Kok dia belum pulang
sih?”
“Itu cowoknya si Difta kan?”
“Oh iya! Itu mereka masuk ke mobilnya
Difta.”
“Mereka pacaran?”
“Setahu gue sih nggak. Tapi nggak
tahu deh.”
“Wah gossip nih besok pasti.”
“Gila aja kalau Sese sampai sama
Difta.”
“Apa salahnya cowok cool gitu kok.”
“Apanya? Lo nggak tahu dia nggak
benar orangnya.”
“Kelihatannya aja di sekolah gitu,
tapi diluar.”
“Kata-katanya juga ceweknya banyak.”
“Iya….. duh kita harus benar-benar
cepat ngomong ke Sese jangan sampai dia jadi korbannya Difta.”
“Maksud lo?”
“Jangan sampai Sese jadi korban yang disakitin
hatinya.”
“Iya lo benar.”
Nampaknya
Difta berhenti di suatu tempat. Dia segera keluar dan meminta Sese untuk ikut
bersamanya, karena dia tidak tega membiarkan Sese berada di mobil sendirian
sedangkan Difta harus berjalan melewati gang kecil yang jaraknya lumayan jauh
dari mobil yang diparkirnya. Mungkin ini membutuhkan waktu cukup lama.
“Yok ikut keluar.”
“Memang mau kemana sih Dif?”
“Ke rumah Oscar dulu. Mau ambil
catatan skore pertandingan futsal.”
“Oscar? Rumahnya masuk gang? Perasaan
nggak deh.”
“Iya, sebenernya nggak cuma kalau mobil bisa masuk harus putar
kesana dulu.”
“Jauh dong. Pantesan gue nggak tahu
tempat ini soalnya pernah dikasih liat sama Ristya bagian depan kali ya.”
“Inikan kita tembusnya belakang
rumah.”
“Oh gitu.”
Akhirnya
Sese mengikuti Difta berjalan di belakangnya. Terlihat tukang kebunnya sedang
membersihkan halaman rumahnya.
“Pak Ahmad.”
“Eh Mas Difta.”
“Pak Ahmad apa kabar?”
“Alhamdulillah baik Mas.”
“Udah balik lagi dari kampung?”
“Iya mas, liburnya sudah cukup. Eh
ini siapa Mas, geulis amat.”
“Oh kenalin ini Sese.”
“Hallo Pak.”
“Hallo Mbak, saya Pak Ahmad yang
bekerja disini. Mas Difta juga sudah kenal.”
“Oh iya iya.”
“Pacarnya ini Mas?”
“Kepo nih Pak Ahmad kepo. Oscarnya
ada Pak?”
“Oh Den Oscar ada Mas, ke depan
saja.”
“Yaudah makasih ya Pak.”
“Iya Mas.”
Difta
dan Sese menuju ke bagian depan rumah Oscar, ternyata dia ada sedang di teras.
“Lo ditungguin lama amat Dif.”
“Hahaha sorry.”
“Eh ada lo, Se.”
“Iya.”
“Yaudah sini masuk Dif. Masuk sini Se.”
“Iya iya.”
Ketika Difta dan Sese masuk ke dalam
rumah Oscar, mereka dikejutkan dengan banyak anak-anak sekolahnya yang sedang
berkumpul disana.
“Eh Difta.”
“Hoy bro!”
“Apa kabar lo Dif?”
“Eh Sese!”
“Lo kok bisa disini?”
“Eh ini dimakan Se, lo juga nih Dif.”
“Iyanih Bi Rui bikinin nasi goreng
mumpung masih anget.”
“Iya dimakan aja, gue baru juga
makan.”
“Kalian baru pulang dari sekolah apa
Se?”
“Iya.”
“Ngapain?”
“Gue habis kerja kelompok.”
“Kalau lo Dif?”
“Hah? Gue….”
“Pasti nungguin Sese nih. Bau-baunya
sih gitu.”
“Hahaha apaandah.”
“Iya lo kan nggak betahan di sekolah,
biasanya juga pengen cepet-cepet cabut dari sekolah kan.”
“Hahaha.”
“Eh ini Dif, hasil pertandingan
kemarin.” Kata Oscar keluar dari ruangan dalamnya.
“Okay. Ini udah pasti kan?”
“Iya tapi lo coba koreksi lagi.”
“Yaudah gue cabut duluan ya!”
“Lo nggak gabung bentaran doang?”
“Nggak lain waktu aja, kasihan Sese
ntar nungguin.”
“Tuh kan.”
“Jelas banget ini mah pacaran.”
“Iyakan Se?”
“Kagak lo apaandah.”
“Lo aneh banget. Banyak yang
ngaku-ngaku jadi pacarnya Difta, tapi lo diakui malah nolak.”
“Apaansih lo pada diam dah!”
“Hahaha iya sorry Dif.”
“Gue sama Sese cabut duluan ya!”
“Okay. Hati-hati.”
“Siap.”
“Lo naik motor atau mobil?”
“Mobil.”
“Kok nggak di parkir depan?”
“Gue lewat jalan belakang.”
“Jauh lah Dif. Lo bisa gitu biarin
Sese jalan dari ujung ke ujung?”
“Nggak apa sehat ya Se? Hahaha.”
“Banget!”
“Hahaha kek terpaksa gitu ngomongnya
ya Se.”
“Hahaha kagak kok gue kuat.”
“Hatinya belum tentu.”
“Lo tuh Os, parah masih stuck di
mantan aja.”
“Apaansih lo Se. Doi lagi dekat sama
anak Dos katanya benar?”
“Stalker atut lo tanya sendiri aja ke
anaknya hahaha.”
“Gila lo Se hahaha.”
“Gue balik dulu!”
“Iye hati-hati ye! Nyetirnya juga
Dif.”
“Yoi.”
Difta
dan Sese pun kembali masuk ke mobilnya dan segera menuju bioskop untuk menonton
film yang Difta inginkan. Tidak disangka, ternyata disana masih saja ramai
padahal sudah sore hari. Bahkan untuk mengantri tiketpun membutuhkan waktu
setengah jam baru mereka bisa mendapatkan tiketnya.
Karena
parkir utama sudah penuh, sehingga mereka harus memarkirkin mobilnya agak jauh
dari gedung bioskopnya. Mereka berdua harus berlari karena air hujan yang
mengguyurnya.
Lagi-lagi
seperti biasa, mungkin karena ketampanan yang dimiliki Difta membuat
orang-orang terpanah akannya. Sesampainya di gedung bioskop, semua mata
mengarahkan pandangannya terutama kepada Difta, dan tentu Sese juga ikut
dilihat karena dia datang bersama Difta. Seperti biasanya Sese merasa risih
jika dia menjadi pusat perhatian dengan Difta, meskipun sudah biasa terkadang
Sese menjadi pusat perhatian jika dia berada di suatu tempat.
Dengan
seragam OSIS yang masih dipakai keduanya,Difta segera memesan tiket dan Sese
menunggunya dengan mencari kentang goreng dan chatime kesukaannya.
Selesai
menonton mereka segera meninggalkan gedung bioskop. Namun Difta mengajak Sese
untuk mencari senar gitar miliknya yang sudah putus.
“Se mampir ke Mall Miori dulu ya.”
“Yaudah terserah.”
“Gue mau cari senar gitar dulu,
sebentar doang kok.”
“Iya okay.”
Di
tempat yang sama, Rani dengan teman-temannya juga sedang berada di Mall Miorio.
Lantas tidak sengaja, Tanu salah satu teman Rani yang sedang bersamanya melihat
Difta.
“Ran.. Ran bentar deh itu Difta kan?”
“Mana?”
“Itu yang pakai seragam sekolah.”
“Oh iya ngapain dia disini?”
“Dia sendiri? Nggak salah?”
“Eh bentar-bentar kok itu ada cewek
sih yang di dekati Difta.”’
“WHAT? CEWEK? Gue harus kesana!”
“Ran, jaga lo jangan marah-marah di
depan umum gitu.”
“Tanu, Bulaan, Tari, kalian ikut
gue!”
Rani
dan teman-temannya pun menghampiri Difta yang sedang memilih senar untuk
gitarnya ditemani Sese. Saat bertemupun semua terkejut dibuatnya.
“DIFTA!” Panggil Rani dengan nada
keras.
Diftapun menoleh ke belakang begitu
juga dengan Sese. Difta terkejut dibuatnya karena kehadiran Rani.
“KENAPA? KAMU KAGET?”
“Kok bisa disini sih?”
“JADI GINI DUA MINGGU TANPA KABAR
KAMU ASYIK-ASYIKAN JALAN SAMA CEWEK LAIN?!”
“LO PUNYA PERASAAN NGGAK SIH DIF?
RANI NUNGGUIN KABAR LO BERHARI-HARI!” Ucap Tari.
“DASAR LO PENGGANGGU HUBUNGAN ORANG!”
Lanjut Bulan.
“HEH LO TUH NGGAK PANTAS SAMA DIFTA.
DIA LEBIH COCOK SAMA RANI!” Lanjut Tanu.
Tentu Sese dibuat bingung dan dia
juga marah karena orang-orang asing yang tidak dikenalnya tiba-tiba menuduh dia
dengan sebutan ‘pengganggu.’
“Dif, mereka siapa sih? DAN LO
CEWEK-CEWEK MODAL BACOT JAGA MULUT LO SIAPA SIH KALIAN NUDUH GUE SEMBARANGAN!”
Ucap Sese.
Diftapun segera mengajak Sese pergi
dan mencoba menjelaskannya di luar tempat itu. “Ayo Se, kita balik.”
“DIFTA! KENAPA LO NINGGALIN GUE
SENDIRI? DIFTAAAAAAAAAA!” Teriak Rani.
Sese mencoba melepaskan
genggaman tangan Difta dan dia meminta penjelasan darinya. “Dif, jelasin sama
gue!”
“Iya gue jelasin, kita ke mobil dulu
terus pulang.”
Di
mobilpun Sese hanya terdiam dan sibuk memainkan ponselnya. Dia menunggu Difta
yang menjelaskan tanpa harus bertanya lagi dengan pertanyaan yang sama.
Nampaknya Difta merasa jika sikap Sese berubah setelah melihat kejadian tadi.
Sehingga Difta menjelaskannya kepada Sese.
“Se….” Ucap Difta mengawali
pembicaraan, dan Sese yang hanya terdiam tanpa mengucap sepatah katapun.
“Gue minta maaf yang tadi Se.”
“Cewek itu Rani dan teman-temannya.”
“Rani siapa? Pacar lo?”
“BUKAN!”
“Terus?”
“Dia……”
“Dia apa? Gebetan lo?”
“Se.” Ucap Difta yang seketika
membuat laju mobilnya terhenti.
“Kenapa berhenti?”
“Gue…. Gue minta maaf Se.”
“Kenapa minta maaf?”
“Karena……”
“Ini bukan salah lo kok. Gue aja yang
nggak mikir sampai jauh. Kenapa bisa pergi Cuma berdua doang sama orang yang
jelas-jelas banyak cewek dimana-mana.”
“Kok lo ngomong gitu Se?”
“Harusnya gue tahu. Lo cakep, lo
kaya, nggak mungkin kalau lo nggak ada gebetan. Gue yang harusnya minta maaf
karena ngejek lo jomblo.”
“Nggak kok, lo nggak salah.”
Sese hanya tersenyum sinis, dan dia
berusaha untuk menahan air matanya.
“Gue capek Dif pengen cepat sampai
rumah. Lo bisa agak ngebut?”
Sesampainya di rumah, Sese segera
masuk setelah mengucapkan kalimat ‘terima kasih’ kepada Difta yang telah
mengantarnya pulang.
“Thanks Dif, hati-hati di jalan.”
“Se……..”
Sese
segera menuju ke kamarnya di lantai dua, dan melihat Difta yang mulai
meninggalkan rumahnya dari kaca jendela. Dia menangis sejadi-jadinya. Sese
tidak paham. Entah mengapa tiba-tiba air matanya mulai berjatuhan. Hatinya
terasa sakit. Begitu sakit.
Tidak
lama, ponsel Sese bordering dan terlihat Kiran menelephonnya. Sese segera
menghapus air matanya dan mengangkat telephone dari Kiran.
“Hallo Kir.”
“Hallo Se. Lo lagi ngapain?”
“Gue baru saja sampai rumah.”
“Lo habis darimana?”
“Gue habis nonton.”
“Sama siapa? Falla juga tadi siang
sampai sore sama gue.”
“Sama teman.”
“Lo habis nangis Se?”
“Hah? Eng.. Enggak kok.”
“Suara lo bindeng! Lo jangan bohong
sama gue!”
“Nggak, gue nggak apa Kiraaaaan. Gue
mau mandi dulu. Gue tutup ya telfonnya.”
“Yaudah okay kalau lo ada apa-apa
cerita sama gue.”
Sedangkan
seperti janji Difta, dia berkumpul di rumah Liut bersama dengan Liut, Tama,
Dio, Andi, Wildar, Odi, Yuiz, dan Hilda, juga Tio. Difta datang terlambat ke
rumah Liut sedangkan yang lainnya sudah
berkumpul.
“Lihat jam lo, sekarang jam berapa?!”
“Sorry gue telat.”
“Keasyikan jalan sama Sese sampai
lupa waktu buat kumpul.”
“Sese? Difta jalan sama Sese?”
“Serius?”
“Wah kok lo nggak pernah cerita kalau
lagi dekat sama Sese sih Dif?”
“Iya lo curang!”
“Lo pada ngomong apasih!”
“Gue setuju lo sama Sese. Dia baik
dan asyik juga.”
“Nah Liut benar tuh!”
“Gue tadi ketemu sama Rani.” Kata
Difta dengan nada pelan.
“RANI?” Tanya semua anak yang sedang
berkumpul.
“Dimana Dif?”
“Di Morio.”
“Terus dia gimana? Soalnya kemarin
dia baru tanya kenapa lo ngilang nggak ngasih kabar ke dia.”
“Oh iya Rani juga ngomong gitu sama
gue.”
“Dia marah-marah ke gue.”
“Wajar lah Dif. Cewek mana yang tahan
nggak dikasih kabar berhari-hari sama cowoknya.”
“Apaansih Da, dia bukan cewek gue!”
“Tapi dia orang yang lo cinta Dif,
dan kalian juga terbukti udah saling sayang kan?”
“Sese….” Ucap Odi seketika.
“SESE BAIK-BAIK AJA KAN DIA?”
Lanjutnya.
Difta hanya terdiam dan Odipun merasa
tahu dengan situasi Difta sekarang. “JANGAN BILANG LO BIKIN SESE SEDIH LAGI!”
“DIF, GUE TANYA! JAWAB!”
“Di, Odi, udah lo santai dong!” Ucap
Yuriz, Tama, dan Liut mereda emosi Odi.
“Nah itu, Sese…..”
“DIA KENAPA?”
“LO BISA SANTAI KAN DI! GUE MAU
CERITA TAPI LO NGEGAS MULU!”
“WOY DIF, DI, UDAH DONG WOY!”
“LO SUKA SAMA SESE?” Tanya Difta
kepada Odi dengan emosinya yang memuncak.
“KOK LO BISA NGOMONG GITU?!” Ucap
Odi.
“SESE ITU BAIK! DIA MEMANG NGGAK
PANTAS BUAT LO!” Lanjutnya.
“IYA! DIA MEMANG TERLALU BAIK BUAT
GUE. IYA KAN ITU MAKSUD LO?”
“CUKUP DIF CUKUP! LO APAANSIH! LO
JUGA DI! NGGAK PERLU PAKAI EMOSI GINI!” Ucap Yuriz mencoba menengahkan mereka
berdua.
“Di, udahlah. Kita balik! Gue duluan
sama Odi!” Lanjut Yuriz meminta izin untuk pulang terlebih dahulu bersama Odi.
Di
jalanpun, Odi masih emosi dengan tingkah Difta. Dia tidak terima dengan apa
yang Difta perlakukan kepada Sese. Yuriz masih saja mencoba meredakan amarah
Odi.
“Di, udah dong lo jangan emosi gini!”
“Riz….”
“Gue tahu. Gue juga setuju sama lo.
Tapi bukan gini caranya. Lo salah, ini yang bisa bikin persahabatan kita sama
Difta jadi hancur.”
“Tapi Difta yang kelewat batas. Dia
nggak bisa menghargai perasaan orang lain. Apa dia tahu gimana rasanya jadi
Rani? Apalagi Sese? Gue yakin disaat Rani lihat Difta yang lagi sama Sese, dia
ngomong yang nggak benar tentang Sese.”
“Gue juga ngerasa gitu Di.”
Keesokan harinya, Sese
tidak sengaja bertemu dengan Odi dan Yuriz di perpustakaan. Sese lantas
membuang muka dari mereka.
“Se, tunggu!” Ucap Yuriz ketika
melihat Sese sambil mengejarnya.
“Gue…. Gue minta maaf atas nama
Difta.” Lanjut Yuriz.
“Lo apaansih Riz. Memang hidup lo
cuma buat minta maaf ke orang atas nama Difta?”
“Se….”
“Lo nggak punya salah apapun sama
gue. Jadi kenapa lo harus minta maaf dan kenapa juga gue harus maafin lo?”
“Tapi Difta…. Dia sahabat gue.”
“Gue tahu. Difta juga nggak ada salah
kok sama gue.”
“Se, lo nggak usah bohongin diri lo
sendiri.” Ucap Odi yang ikut masuk dalam percakapan.
“Lo ngomong apaan Di?”
“Lo sakit hati kan? Gue tahu gimana
cara omongan Rani ketika dia lihat Difta lagi jalan sama lo.”
“Lo jangan seenaknya nuduh orang
sampai menjelek-jelekan dong.”
“Gue tahu Rani. Empat tahun yang
lalu. Jelas gue tahu sifat dia.”
“Gue mau ke kelas.”Ucap Sese
menghindar dari Odi yang terus saja menyudutkannya.
Dan
entah apa ini namanya kebetulan, Sese tidak sengaja dan hampir saja bertabrakan
dengan Difta yang baru saja dari kantin sekolah diikuti oleh Wildar, Yoyo, dan
Hilda. Namun Sese mengacuhkannya dan dia berjalan cepat menuju kelasnya. Difta
hanya terdiam dan melihat langkah Sese yang semakin jauh darinya.
Di
sepanjang kegiatan belajar matematika, bayangan Difta terus saja tertuju pada
kelas yang ada di seberangnya. Iya, disana ada Sese. Dia melihatnya begitu
jelas bagaimana Sese sedang memperhatikan pelajarannya dengan sangat serius.
Difta mulai menyadari perasaannya yang sesungguhnya. Memikirkannya terus hingga
ketukan penggaris panjang tidak terasa berbunyi di meja belajarnya.
“DIFTA ADMYRALARGHA!”
“Eh iya bu 24y+8x=0.”
“APA? ULANGI LAGI COBA JELASKAN
KEPADA IBU!”
“Ma…af bu.”
“KAMU INI YA! BOLOS TERUS SEKALINYA
BERANGKAT TIDAK MEMPERHATIKAN PELAJARAN! SEBENTAR LAGI UJIAN. KAMU LIHATIN APA
DILUAR? MEMANG IBU KURANG CANTIK?” Dan semua anak Dua Belas IPS 3 tertawa
karena Bu Nawang.
Sepulang
sekolah, Difta ditemani oleh Wildar, Yuriz, Odi, dan Tio menunggu Sese keluar
dari gerbang sekolah utama di ruang piket. Difta sudah membulatkan tekadnya
untuk meminta maaf dan menjelaskan semuanya kepada Sese, hingga akhirnya tidak
ada kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka.
Wildar
lebih dulu melihat Sese yang berjalan bersama dengan kedua temannya, Tika dan
Laras.
“Dif, itu Sese!”
Difta segera menengok dan mencoba
mengikuti Sese dari belakang karena dia yang terus saja dilihat oleh siswa
sekolah yang juga akan pulang.
“Eh Se, kok belok kiri?”
“Kenapa?”
“Enggak kok.”
“Bukannya lo mau pulang kan? Tempat
parkirny di sebelah selata. Jadi lo benar kalau belok kanan.”
“Mmmm terus lo mau kemana?”
“Terserah gue dong! Kalau lo?”
“Gue.. Gue mau…”
“Difta mau ngikutin lo Se!”
“Heh gendut diam lo!”
“Bukan bukan Difta mau ke
laboratorium.”
“Hah? Bukannya itu laboratorium
kimia?” Tanya Laras dengan kebingungan.
“Mungkin dia mau campurin rokok sama
alcohol.” Ucap Sese.
“SE!”
“Santai lah Dif. Lo nggak malu
dilihatin banyak orang? Kita harus jaga jarak kan sebelum jadi incaran buat di
bentak-bentak?” Ucap Tika.
“Ayuk Se, Ras, keburu sore.” Lanjut
Tika.
Sese, Tika, dan Laras
segera menuju mushola untuk melaksanakan shalat ashar. Dan Difta, Wildar, Odi,
Yuriz, dan Tio berjalan menuju parkir sekolah. Namun Difta tetap menunggu Sese
di parkir sekolah. Dia ditinggal oleh teman-temannya terlebih dahulu. Disana
ada anak-anak Pasukan Glidig, dan banyak yang tersisa adalah anak IPA. Tapi
Difta tetap cuek dan dia menunggu Sese yang cukup lama terlihat keluar dari
mushola.
Akhirnya, Sese yang
ditunggu-tunggu keluarlah dari mushola. Dia berjalan menuju parkir sekolah
bersama dengan Tika. Melihatnya, Difta segera bersiap dan menyalakan kendaraan
roda duanya itu yang bunyi kenalpotnya cukup keras. Dia mendekati Sese yang
berjalan.
“Se, tunggu!”
“Apa?”
“Se, gue mau ngomong!”
“Apa?”
“Gue…”
“Kalau lo mau ngomong bisa kan matiin
motornya dulu. Bising.”
“Gue minta maaf buat kejadian yang
lalu.”
“Okay.”
“Gitu doang?”
“Terus?”
“Lo nggak mau ngomong apa atau tanya
apa?”
“Nggak.”
“Lo masih marah sama gue?”
“Sejak kapan gue marah sama lo?”
“Judes amat lo cepat tua loh.”
“Daripada gue jadi pelampiasan cewek
lo!”
“Siapa? Rani? Dia bukan cewek gue.”
“Oh gue lupa dia masih gebetan, belum
jadi pacar.”
“Dia bukan gebetan gue.”
“Oh, dia teman mesra.”
“Bukannya teman mesra gue itu lo?”
“Hah? Eh!”
“Hahaha ternyata lo masih focus
ngomong sama gue.”
“Udah yok Tik kita balik.”
“Lo mau kemana?”
“Pulang.”
“Bukannya rumah Tika dekat sini? Kok
lo mau sih Ti kantar cewek ngambekan kayak dia pulang?”
“Lo sendiri juga mau kan?”
“Udah lah Dif. Sese dekat sama lo,
dia nggak aman.” Lanjut Tika.
Difta
membiarkan Sese pulang tidak bersamanya. Dan ajakannya meminta Sese pulang
bersama, gagal. Tapi setikdanya dia senang, karena Sese sudah mau berbicara
dengannya dan menerima perminta maafannya.
Malam
harinya, Difta keluar pergi ke rumah Sese dengan membawa sebucket bunga mawar
berwarna tosca kesukaan Sese. Perjuangan Difta untuk mencari warna kesukaan
Sese sangatlah sulit. Dia harus mencari tahu hingga menguntit akun media social
Sese hingga ke akar-akarnya. Luar biasa!
Dia menekan bel rumah dengan perasaan
entah.
“Siapa?” Tanya Anji, adik Sese keluar
dari rumah untuk membukakan pintu gerbang rumah.
“Tunggu! Bukannya situ orang yang
waktu itu bikin kakak saya marah terus dia minta buat cabut?”
“Lo ngapain kesini lagi?” Lanjut
Anji.
“Bukan, lo salah paham.”
Memdengar keributan di gerbang pintu
rumah, membuat Sese keluar untuk memastikan apa yang sedang terjadi.
“Dek, ada apa?”
“Kak, orang yang bikin kakak marah,
dia kesini lagi!”
“Siapa?”
“Se, gue.”
“Difta? Lo ngapain kesini?”
“Kak, kakak kenal sama dia?”
“Iya iya. Kamu masuk ke dalam aja
dulu.”
“Tapi dia….”
“Dek!”
“Awas kalau lo ngapa-ngapain kaka
gue!”
“Santai dong!”
Sese mengajak Difta untuk masuk dan
duduk di teras rumahnya. Difta menjadi gugup seperti biasanya saat dia
berbicara dengan Sese. Apalagi, dia membawa bunga yang disembunyikan di
punggungnya.
“Lo ngapain sih Dif ke rumah
malam-malam?”
“Gue mau minta maaf.”
“Kan udah tadi di sekolah?”
“Tapikan...”
“Gue bikinin minum dulu ya!”
Difta terus saja memikirkan bagaimana
cara dia memberikan bunga kepada Sese. Hingga Sese keluar membawa minuman,
Difta mencoba memberanikan diri.
“Se…..”
“Nih buat lo!” Ucap Difta memberikan
Sese bunganya dengan kalimat yang sangat cuek. Sese dikejutkan dengan itu. Dia
sangat bingung tetapi juga senang karena seseorang membawakan benda warna
favoritenya.
“Dif, ini maksudnya apaan?”
“LO.. LO JANGAN GEER DULU. GUE TADI
BELI AJA BUNGANYA DI DEPAN KARENA ADA TUKANG BUNGA YANG LEWAT TERUS GUE NGERASA
KASIHAN AJA MAKANYA GUE BELI!”
“Really?
Kenapa lo pilih tosca?”
“Ya, karena bunganya warna itu
semua.”
“Okay... Terserah apapun kata lo,
tapi makasih banget buat bunganya karena ini warna kesukaan gue.”
“Ya!”
“Udah?”
“Udah?”
“Udah nggak ada yang diomongin lagi
kan? Ya lo bisa pergi….”
“Maksud lo?”
“Ya… Ya lo tahu sendiri lah.”
“Lo ngusir gue?”
Difta pun pergi dengan Sese yang
terus mendorongnya untuk segera meninggalkan rumahnya. “Gila baru kali ini gue
diusir cewek dari rumahnya!”
Pagi
harinya, ketika Sese berjalan sendiri menuju ke kelasnya, dia melewati gerombolan
yang dimana disitu ada Difta. Difta tidak melihat Sese, karena dia sedang sibuk
bermain game di ponselnya. Teman-temannya lah yang melihat Sese berjalan dan
mereka segera menggodai Sese dengan Difta.
“Cieeeee.”
“Cieeeee yang semalam di suruh cabut
padahal lagi ngapelin.”
“Tepatnya diusir sih hahaha.”
“Hahaha.”
Difta yang merasa jika itu
adalah dia, mengalihkan pandangannya dari ponsel dan melihat Sese yang terus
saja berjalan tanpa menghiraukan candaan dari Difta dan teman-temannya. Tentu,
Difta merasa malu akan hal itu, dan dia meminta teman-temannya untuk segera
diam. “Woy diam dah!”
Saat istirahat kedua,
ketika Sese dan teman-temannya menuju mushola untuk melaksanakan shalat dzuhur,
tidak sengaja berpapasan dengan Difta bersama teman-temannya di jalan ke arah
pintu gerbang utama. Sese hanya diam, begitu juga dengan Difta. Difta langsung
saja mengajak teman-temannya menuju mushola.
“Mushola yok.”
“Tumbenan lo ngajak kita.”
“Lo taubat?”
“Udah kewajiban kali sebagai umat
muslim.”
“Lo dapat hidayah ya.”
“Udah buru.”
“Atau jangan-jangan karena ada Sese?”
“Kagak lah!”
Saat
Sese sedang berjalan menuju mushola, tidak sengaja dia berpapasan dengan
Pasukan Glidig. Dan merekapun mulai berulah mengerjai Sese dan Tian.
“Se Se Se.”
“Cieeee cieeee.”
“Bisa aja lo jalannya mau tabrakan
hahaha.”
“HAHAHAHA.” Tian dan Sese hanya bisa
berpasrah diam karena ulah teman mereka yang sungguh entah apaan.
Odi
melihat keramaian dan disitu ada Sese. Tentu dia bertanya-tanya dengan kejadian
yang sedang terjadi.
“Apaantuh ramai-ramai?”
“Lo dengar nama Sese dibawa-bawa sama
mereka?”
“Dif?”
“Apaandah.”
“Serius gue dengar nama Sese dan Sese
memang ada disitu.”
“Wajarlah mereka sama-sama anak IPA.”
“Tapi gue ngerasa ada yang beda.”
“Udah lo jangan bawa-bawa masalah lo
sama Maya karena dia udah beda ke lo.”
“Ngajak ribut lo Dif?”
“Hahaha santai lo bisa dapat yang
jauh lebih dari dia.”
“Gue juga ngerasa gitu.”
Saat
Sese, Falla, Laras, Dias, Fenia, sampai di mushola dan sedang melepas alas
kaki, Laras dikejutkan dengan pemandangan Difta dan teman-temannya jalan menuju
mushola.
“Eh gue nggak salah lihat kan itu?”
“Apaan?”
“Difta itu, Se, Sese.”
“Masasih?”
“Lihat dong tuh Difta kan?”
“Oh iya.”
Ketika Difta sampai di mushola, dia
mendekat kepada Sese.
“Eh bukan muhrim jauh-jauh.” Celetuk
Falla.
“Lo nggak mau ke lab kimia?” Ledek
Sese tetapi cuek.
“HAHAHAHA.” Semuapun tertawa.
“Gue mau lepas sepatu apaandah!”
“Lo nggak lihat disini cewek semua,
sebelah sana kali!” Ucap Laras.
“Udah biarin.”
“Eh Se!”
“Lo mau ikut gue wudhu juga?”
“Dif, ayo pindah kesana lo nggak malu
dilihatin?”
Ketika
mereka selesai sholat, segeralah mereka kembali ke kelas. Wildar, Yuriz, Odi,
dan Yoyo, pergi dulu bersama dengan Dias, Falla, Laras, dan Fenia, sedangkan
Difta harus menunggu Sese yang sedang memakai sepatunya.
“Se buruan lelet amat lo nggak
cekatan.”
“Dih lo mah gitu banget nggak ikhlas?
Pergi aja lo sonoooo!”
“Dih sensitive amat buk? Tuh
dilihatin adik kelas.”
“Bodo!”
Setelah
selesai menggunakan sepatu, Difta dan Sese berjalan kembali ke kelasnya.
Suasana di dalam sekolah area Dua Belas IPA dan IPS begitu hening. Mereka
berdua berjalan dan merasa canggung karena sepanjang perjalanan ada saja yang
melihat mereka berjalan.
“Gue jalan duluan baru lo.”
“Kenapa?”
“Lo nggak lihat mereka memperhatikan
kita mulu?”
“Ya oke.”
Sese
berjalan menuju kelasnya, dan Difta berjalan menuju kelasnya juga. Sese tidak
mengira jika di teras depan kelasnya ada Tian dan Listi dan sedang duduk berdua
disana. Tentu ini membuat Sese begitu juga dengan Tian menjadi salah tingkah
apalagi setelah mereka bertemu dalam tatap.
Sepulang
sekolah, Difta sudah menunggu Sese di gerbang kedua. Ini membuat Sese menjadi
terkejut karena sebenarnya dia bisa saja pulang tanpa harus diantar Difta.
“Astaga! Lo ngapain di gerbang?”
“Nungguin lo lah.”
“Lo nggak stress kan?”
“LO NGOMONG APA?!”
“Nggak.”
“Udah buruan naik!”
“Nggak mau!”
“Sumpah ya gue nggak ngerti sama lo.
Banyak kali cewek yang mau bonceng gua. Tapi lo malah nolak!”
“Yaudah sono pulang sama yang lain!
Dif, kita dilihatin.”
“Makanya buruan nurut naik! Apa perlu
gue angkat lo duduk?”
“APAANSIH LO!”
Akhirnya
Sese mau pulang bersama dengan Difta. Dia mengantarnya tepat sampai depan rumah
Sese. Sebelum pulang, Difta menghentikan Sese.
“Se, bentar.”
“Kenapa? Ongkos?”
“Lo bisa nggak sih nggak negative
thinking sama gue?”
“Yaterus apaan?”
“Itu!”
“Apaan? Nggak jelas lo gue mau masuk
aja!”
“Helm gue woy!”
“Oh iya. Lagian lo ngomong itu itu
doang!”
“Lo yang keras kepala susah diajak
ngomong!”
“Lo memang nggak ada halus-halusnya
ngomong sama gue ya. Apalah tuh arti mawar toscanya!!!”
“Karena lo memang nggak pantas buat
di lembutin! Nggak mau juga bisa dibuang ngapain masih lo simpan?!”
“Lo ya Dif….!”
“Udah gue mau pulang malas ngomong
nggak penting sama lo!”
“Pergi sono pergi!!!!!!”
Tidak
lama, seseorang datang ke rumah Sese membawa sebuah undangan ulang tahun.
Ternyata, ini adalah ulang tahun Khasa yang ke Sembilan belas. Tidak lama,
Falla menelephone Sese.
“Se, lo dapat undangan?”
“Iyanih gue dapat.”
“Lo bareng sama gue, Kiran juga ya.”
“Iya gampang ntar.”
“Kita dapat undangan private satu
kelas tahu.”
“Maksud lo?”
“Anak kelas Sebelas IPA 2, dapat private
party satu setengah jam.”
“Bisa gitu?”
“Gue aja baru tahu dari Tiar.
Setengah jam break, terus baru mulai yang undangan umumnya.”
“Gila ribet amat tuh bocah!”
“Hahaha tapi kita bisa nostalgia sama
kelas sebelas.”
“Maksud lo apaan?”
“Eh iya gue lupa ka nada Tian
hahaha.”
“Oke cukup!”
Tibalah
mereka di acara birthday Khasa. Disanalah Sese bertemu dengan Tian tanpa ada
Listi disamping Tian. Saat mereka bertemu, seperti biasa mereka bungkam dan
tidak ada salah satu yang mengalah untuk berbicara terlebih dahulu.
Amar
yang ada disitu, lantas mulai melabuhi Sese dan Tian.
“Udah ngomong udah aman juga!”
“Lo apaansih Mar urusin tuh mantan!”
“Njir lo bawa-bawa mantan nggak lihat
siapa yang sama gue!”
“Apaan Tian? Dia mah teman nggak ada
lah sejarah mantan teman.”
“Yakin teman? Gebetan kali? Hahaha.”
“Apasih lo Mar.”
“Sini lah Ian lo mau kemana? Sese
sendiri.”
“Gue udah terbiasa sendiri.”
“Uhhhh curhat banget?”
Saat Sese sedang akan
menjawab omongan konyol Amar, ponselnya berbunyi dan lagi-lagi itu adalah
Difta.
“Lo ngapain lagi telfon-telfon gue?”
“Dih pede amat lo! Gue nggak bisa.”
“Oh iya lupa. Gue juga nggak bisa.”
“Kenapa lo?”
“Bukan urusan lo!”
“Yaudah gue ngantuk walaupun gue ada
undangan birthday.”
“Syukur dah lo nggak kesini.”
“Lo juga dapat undangan?”
“Bukan urusan lo!”
“Untung gue nggak datang. Ketemu lo
lagi kan bosan!”
“LO NYEBELIN BANGET SIH.”
“Nggak apa yang penting ngangenin
hahaha.”
Pulang
dari birthday party Khasa pukul tiga dini hari. Sese sangat sangat mengantuk
sesampainya di rumah dia menunggu adzan shubuh dan setelah itu dia pergi untuk
tidur.
Pukul
sebelas pagi hari belum juga Sese bangun. Anji membiarkannya tetap tidur,
begitu juga dengan bunda. Karena bunda ada meeting sehingga dia buru-buru pergi
ke kantornya. Dan di rumah hanya ada Anji yang menemani Sese.
Ponsel
Sese terus saja bergetar tapi tetap saja tidak membuatnya bangun. Difta. Dia
sudah menghubunginya berkali-kali. Sehingga, tanpa menunggu, dia langsung saja
meluncur menemui Sese di rumahnya yang masih tidur dan asyik dengan bunga
tidurnya.
Bel
rumah di tekan, dan Anji yang membukanya.
“Bang Difta? Masuk sini bang!”
“Kok sepi?”
“Bunda ngantor.”
“Kakak lo mana?”
“Tuh masih ngorok.”
“Gila ini jam berapa dia tidur masih
napas kan?”
“Hahaha sa ae lo bang. Kakak pulang
jam tiga.”
“Tiga? Anak malam banget dia!
Pantesan gue telfon nggak diangkat-angkat.”
“Bangunin aja di kamar atas. Gue mau
minta Bi Ime bikin minum.”
Difta
segera menuju ruangan atas dimana kamar Sese berada. Dia mengetuk pintunya dan
mencoba membangunkan Sese.
“Kebo bangun lo!”
“Woy kebo lo tidur nggak gerak?”
“MALING-MALINGGGGGGGGGGGG!!!!”
“MANA MALING MANA??????”
“Bangun juga lo!”
“LO NGAPAIN MASUK-MASUK KAMAR GUE????”
Nice
ReplyDeleteNice
ReplyDelete