cerpen saatku melepasmu
Saatku Melepasmu
“Aku bisa sendiri.” Aku
menghempaskan tangannya dengan kasar ketika ia mencoba membersihkan ice cream di bibirku.
Ia
terdiam. Aku sibuk menyesap benda manis yang dari tadi menggodaku.
“Kita
udah beda. Nggak sama. Semua nggak bisa diubah seperti dulu lagi.”
Tatapannya
dingin. Masih memojokkanku dengan raut wajah yang menyebalkan.
“Kenapa
ngajak ketemuan lagi? Belum cukup sama apa yang kamu lakukan?” tanyaku panas
dan sinis.
Ia
menatapku dengan tatapan memelas. Aku menangkap sinyal kesalahan dimatanya.
Tapi aku tak peduli. Rasa kasihanku sudah habis untuknya. Aku muak menatapnya.
Pertemuan ini tidak terjadi jika dia tak bersungut seperti di telepon tadi.
“Aku
mau minta maaf. Aku bersalah.” Ucapnya lugu namun penuh rayu.
“Baru
sadar sekarang? Kemarin kemana aja?”
“Aku
menyesal. Aku menyesal. Aku menyesal.”
“Tiga
kali ada kata menyesal.”
“Aku
menyesal.”
“Empat
kali.”
“Sese
. . . . . “ Ia memanggil namaku lembut. Aku tak bisa jika tidak menyorotkan
tatapan mataku padanya.
“Apa?”
“Maafin
aku.”
“Aku
udah maafin kamu. Bahkan sebelum kamu meminta maaf.”
“Sungguh?”
Aku
mengangguk tanpa pikir panjang. Rasanya tak ingin berlama-lama bercakap
dengannya. Aku ingin semuanya segera berakhir. Aku tak ingin menatap wajah
busuk itu lagi.
“Aku
menyesal, Se.”
“Cukup.
Lima kali kamu bicara kata menyesal. Aku bosan mendengarnya. Apalagi kamu
sendiri tidak pernah mencoba untuk berubah.”
“Aku
harus berbuat apa agar kamu memaafkanku?”
“Tidak
perlu. Semuanya sudah lewat. Aku tidak ingin mengingatnya kembali. Semuanya
sampah!”
Nada
bicaraku mendiamkan bibirnya. Aku melihat tatapannya yang meminta untuk
dikasihani.
“Jangan
menatapku dengan tatapan tolol seperti itu. Rasa kasihanku sudah habis
terhadapmu.”
Ia
tak banyak bicara. Hanya mendengarkan apa yang terus kukatakan kepadanya.
Tiba-tiba perasaan kesal itu muncul lagi. Bayang-bayang pahit itu kembali
berserakan. Rasanya tak bisa menahan diri ingin mengingatnya kembali. Aku ingin
semuanya berlalu seperti lalu lalang angin. Aku tak ingin mengingatnya yang
menyakitiku dan menghianatiku.
Aku
tak bisa menyangkalnya. Aku benar-benar mencintainya. Dia sudah menjadi bagian
napasku untuk beberapa tahun terakhir. Aku tak bisa dengan mudah melupakan
seseorang yang sudah mengisi hari-hariku dengan cepat. Aku butuh waktu. Namun
semua ternyata diluar prediksiku. Semakin aku mencoba melupakannya, dia justru
hadir kembali membawa sejuta kata maaf dan mencoba mencairkan hatiku yang sudah
beku karenanya.
Aku
hanya bisa membohongi diriku sendiri. Aku hanya bisa memakinya, mencemoohinya,
dan menghujatnya dengan kata-kata kasar, yang sebenarnya sangat menyiksa
batinku. Jujur aku tak bisa melakukannya kepada orang yang aku cintai. Hatiku
sempat goyah, namun aku kembali tersadar pada kenyataan. Aku tak bisa
menerimanya kembali. Sekeras apapun dia memintanya.
Setelah
kudiamkan beberapa lama, dia menangis. Semua mata pengunjung restoran tertuju
kepadaku dan ia. Ini pertama kali aku melihatnya menangis. Apakah ini adalah
bagian dari kebohongannya lagi?
“Sudahlah
Nara. Aku bukan gadis tolol yang bisa kau permainkan lagi. Menjauhlah dari
pandanganku, atau menghilanglah dari muka bumi ini!”
“Aku
akan menghilang tanpa kau minta Sese.”
“Baguslah.”
“Aku
akan pergi bahkan tak akan kembali.”
“Baiklah.”
“Kalau
perlu, selamanya.”
“Iya
selamanya.”
Dia
mengulang kata ‘selamanya’ dengan nada datar dan mata yang sembab. Aku tak
ingin membuang waktuku, segera ku beranjak dan membayar ice cream, lalu meninggalkan Nara sendiri.
**
Tak
ada lagi komunikasi dengan Nara. Bahkan untuk mengingatnyapun tak ingin. Aku
disibukkan dengan aktivitas sekolah yang begitu memadatkanku. Tapi aku memang
tak pandai menyangkal, wajah Nara selalu hadir dalam bayang-bayangku ketika aku
sedang merasa sepi. Aku merindukannya, saat lagu favorite kita dulu kuputar,
yang berjudul Have I Told You Lately That I Love You. Nampaknya memang benar,
lagu mampu melempar seseorang untuk kembali melihat masa lalunya.
Pagi
ini, aku merasa begitu tak ingin pergi menuntut ilmu. Begitu sepi, seperti
halnya tak ada penghuni. Bahkan akupun tak ingin rasanya memegang ponsel.
Namun, tak berlangsung lama ponselku bendering. Baiklah, aku mengangkatnya,
karena aku merasa jika ini penting.
“Hallo
. . . .”
“Hallo
. . . . Sese?”
“Iya.
Maaf dengan siapa?”
“Ini
Tante Mel, Nak.”
Deg!
Tubuhku lemas. Aku tak paham mengapa dengan tiba-tiba dan tidak biasanya Tante
Mel menelephonku. Sebenarnya apa yang terjadi? Perasaanku mulai tidak stabil.
“Iya
Tante, kenapa?”
“Mau
nemenin Tante nggak?”
“Kemana?”
“Ke
suatu tempat yang mungkin kamu suka.”
Aku
terdiam agak lama. Berpikir dengan keras. Namun tanpa diduga, satu kata
meluncur dari ucapanku, “Oke.”
*
“Sebenarnya
Tante sudah ingin sejak lama membawamu kesana.”
Aku
masih bingung seperti tak tahu arah tujuan. Aku hanya mengangguk pelan dengan
apa yang Tante Mel katakan, berbicara kesana kemari tidak jelas.
“Kita
mau kemana Tante?”
“Nanti
juga kamu tahu sendiri.”
Jawaban
itu sama sekali tak membuatku puas. Kita melewati padang ilalang dan hamparan
rumput yang menghijau. Tanah yang terlihat cukup gersang. Beberapa menit
kemudian, Tante Mel, Ibu Nara memakai kaca mata hitam dan juga kerudung
berwarna hitam. Dia mengeluarkan kembang tujuh rupa. Apa yang terjadi
sebenarnya? Aku masih bertanya-tanya.
Mobil
berhenti. Kita berjalan melewati padang ilalang itu. Beberapa nisan terlihat di
pandanganku. Rasa ingin tahuku semakin bertambah. Beliau menggenggam tanganku
erat sambil menuntunku berjalan. Dan tibalah kita di depan sebuah nisan. Aku
tak tahu benar tulisan di nisan itu, karena aku tak membacanya. Tante Mel
sedikit menjongkok, dan akupun mengikutinya.
“Sudah
tiga bulan Se.”
Aku
masih diam dan mendengarkan. Berharap mendapatkan jawaban.
“Dia
pergi. Seusai permintaanmu.”
Aku
menyimak dengan sangat serius perkataan Tante Mel.
“Nara
sakit. Dia selalu menyembunyikan penyakitnya darimu.”
Oh
Nara sakit. Di rawat dimana dia sekarang? Pasti itu balasan karena dia telah
menyakitiku.
“Kamu
dan Nara sudah berpacaran beberapa tahun.”
Duh,
mengungkit masa lalu. Masa yang tak ingin kuingat. Sialan.
“Nara
tahu kamu sangat mencintainya, makanya kepergiannya tak ingin kamu tahu.”
Aku
terdiam. Semakin tak paham.
“Ia
menyewa wanita, dan merencanakan segalanya yang rumit, seperti tidak ada
kesengajaan.”
“Maksud
Tante?” Aku mencoba membuka suara.
“Nara
mencium wanita itu dan kamu lewat di depan mobilnya. Momen yang pas. Sesuai
rencananya.”
Tatapanku
tajam mengarah kepada Ibu Nara. Kacamata hitam menghalangi pandanganku.
“Nara
sengaja menyakitimu agar kamu tak pernah menyesal ketika dia pergi. Itulah
wujud yang sebenarnya, bahwa ia tak ingin melihat orang yang sangat ia cintai
terluka.”
Aku
tak percaya. Omong kosong!
“Dia
baik sekali Sese. Dan kamu tak mengira pertemuan terakhir kalian ketika kamu
memakinya.”
Jutaan
panah seperti menghantamku. Aku merasa napasku sesak dan begitu berat. Aku
menatap nisan itu. Nama yang terlihat pernah memutar balikkan duniaku, Nara.
“Perjuangannya
memang tidak sia-sia. Dia pergi dan tak melukai sedikitpun perasaanmu. Dia
mampu menahan air matamu. Lihat, kamu tidak menangis.”
Aku
terdiam, tak bisa banyak komentar. Lidahku kaku dan kelu. Sungguh, sangat hebat
perjuangan Nara untukku.
Napasku
tercekat. Kini aku tahu rasanya menangis.
Air
mata membahasi pipiku dengan begitu derasnya.
Menarik 😀😀😀😀
ReplyDelete