cerpen ajari aku mengenal duniamu

 

Ajari Aku Mengenal Duniamu

 

            Kami berdiri seperti orang bodoh disitu. Hujan yang tak mampu diprediksi datang semaunya sendiri. Derasnya tak tanggung-tanggung. Pemandangan di depan mataku hanya genangan air, sampah-sampah daun mengalir diatas permukaannya. Bau tanah basah sudah menyentuh hidung sejak tadi, betapa aku jatuh cinta pada aroma yang mengesankan ini.

            Udara dingin telah menusuk tulang. Hingga aku muak dan kesal sendiri. Langkahku terkunci dengan seseorang yang berada disampingku. Aku mengenalnya, teman sekelas, namun aku belum benar-benar mengetahui tentangnya. Bagiku, dia belum menjadi seseorang yang special, maka aku tak perlu mengingat detail kehidupannya. Dalam suasana menyebalkan seperti ini, apa yang harus kulakukan? Kami berdua di depan teras kelas dan tak saling membuka suara. Hanya lirih, aku bosan.

            Aku sibuk mendengar bisikan hujan. Dia yang ada disampingku terlihat sibuk dengan ponsel yang ada digenggamannya. Kami diam, masih bertahan untuk tak saling bicara.

            Kalau boleh kubocorkan satu rahasia, ini kali pertama kami berbicara. Permulaan yang aneh memang. Tapi siapa yang tahu? Segalanya dimulai dari sini. Kami yang tak pernah saling peduli tiba-tiba menciptakan percakapan basa-basi. Aku tak langsung menjawabnya, membiarkan pertanyaan itu menggantung beberapa lama di udara.

            “Kedinginan?”

            Aku mengangguk pelan. Masih tak ingin membuka suara. Memang dingin sekali. Kedua tanganku melingkar di depan dada. Aku berusaha keras menghangatkan tubuhku sendiri.

            Dengan gerakan tergesa-gesa, dia membuka jaket yang melingkar ditubuhnya sejak tadi. Kemudian meletakkan jaketnya di kedua bahuku. “Pakai ini. Kamu lebih butuh.”

            Bibirku kelu. Aku tak dapat bergerak. Menjadi salah tingkah. Berani-beraninya dia membuatku berada dalam keadaan serba salah seperti ini. Aku juga tak paham dengan perubahan emosiku. Aku senang, tapi malu. Jaket yang berada di kedua bahuku kurapatkan dengan tubuhku. Hangat.

            “Kenapa diam aja? Di kelas ribut.” Sahutnya lugu, diikuti dengan suaranya yang terdengar manis ditelingaku.

            “Ribut? Itu aktif.” Sergahku panas. Aku menyalak.

            “Iya, aktif.” Jawabnya pasrah. Aku merasa menjadi si pemegang situasi.

            “Tapi kalau berdua sama orang, banyak diamnya. Ada sesuatu yang aneh.”

            “Sungguh? Tergantung juga orangnya siapa.” Aku menatap matanya, tepat disampingku. “Aneh dibagian mananya?”

            “Perlu dijelasin?” Ia langsung bertanya dengan cepat, kemudian mendekatkan wajahnya, memandangku dengan tatapan hangat.

            Dipandang seperti itu, aku merasa seperti disiram labirin. Pria disampingku benar-benar memabukkan. Tatapannya benar-benar berbeda dengan pria-pria lainnya, dan dia benar-benar mengunci perhatianku.

            “Tuh kan, diam lagi.”

            “Aku sedang berpikir.”

            “Apa yang kamu pikirkan  di suasana yang sedingin ini?”

            “Matahari semakin menghilang. Langit semakin gelap.”

            “Kamu tidak  menjawab.”

            “Memang tadi kamu tanya apa?”

            “Kenapa kamu banyak diam?”

            “Karena aku tidak mengenalmu dekat.”

            “Tapi kita satu kelas.”

            “Di tempat dan waktu yang sama, dua orang saling bertemu, tetapi mereka tidak dipaksa untuk saling mengenal.”

            “Jelas saja kamu tidak mengenalku. Aku duduk dibangku belakang.”

            “Cerdas, sekarang kamu tahu dan mulai paham.”

            “Kita terpisah ……..”

            “Hanya beberapa meter. Kamu duduk di belakang, beberapa meter dari bangku depan, tempatku duduk.”

            Jawaban terakhirku mendiamkan percakapan kita beberapa detik. Aku dan dia sibuk berdialog dengan perasaan masing-masing. Jujur, pria ini memang manis. Aku tertarik untuk memperhatikannya sejak beberapa hari yang lalu. Awalnya, aku menganggap dia aneh. Penampilannya memang acak-acakan. Mungkin jika ia dandani sedikit, ia banyak dikejar-kejar wanita yang terkagum-kagum pada sosoknya yang misterius namun kadang banyak omong.

            Berhubung ia duduk di bangku paling belakang, perhatianku terhalang oleh jarak kita beberapa meter. Di kelas, kami berjauhan, sungguh jauh, sampai tak saling mengenal satu sama lain. Makanya seperti yang kubilang, kalimat pertama adalah percakapan perdana kami. Harusnya disertai kembang api dan petasan lebaran. Tapi, ah ….. dia bukan pria special.

            “Pernah terpikir tidak? Datangnya hujan dari mana?” Ia mulai berani mengawali percakapan.

            “Dari air mata yang enggan diturunkan, karena terlalu banyak jumlahnya. Makanya deras.” Jawabku ngawur.

            “Ngasal aja!”

            “Loh emang salah?”

            “Nggak. Nggak ada yang salah. Tergantung persepsi.”

            “Lihat! Kamu sibuk berfilosofi.”

            “Itu pendapatku, Sena.”

            Aku terdiam beberapa detik. “Kamu tahu namaku?”

            “Siapa yang tidak tahu dengan orang seribut kamu?”

            “Tapi aku tidak mengenalmu.”

            “Jelas saja. Kamu mengenal apa yang ada di duniamu. Dan aku adalah dunia yang berbeda.”

            Mendengar jawaban yang agak sinis, aku memukul bahunya lembut. “Aku tidak tahu jika pembicaraan kita akan menyenangkan seperti ini.”

            “Aku juka tidak tahu akan melewatkan hujan sedingin ini dengan orang menyenangkan sepertimu.”

            “Lihat! Kamu melucu.”

            “Tidak. Buktinya kamu tidak tertawa, Sena.”

            Bibirku terkunci. Aku tidak tertawa. Ah memang tidak terlalu lucu, untuk apa aku tertawa. “Banyak tugas. Bagaimana aku bisa pulang?”

            “Apa yang di otakmu isinya hanya tugas, tugas, dan tugas?”

            “Otak punya kemampuan untuk menyaring hal yang penting. Dan tugas termasuk hal yang penting.”

            “Banyak hal yang penting di dunia ini. Tapi luput dari pandangamu.”

            Aku menghela napas berat. “Namamu juga penting. Boleh aku tahu?”

            “Apalah arti sebuah nama, kalau yang diingat banyak orang hanya tindakan yang dilakukan, bukan nama orang yang melakukan?”

            Nama itu penting. Kalau berkesan juga akan diingat. Makanya, aku tidak meingat namamu, karena kamu belum berkesan.”

            “Aku belum berkesan?” Tatapannya melotot kearahku.

            Aku tak menjawab ketika pertanyaan itu selesai diucapannya. Aku juga tak bergerak, ketika wajahnya mendekati wajahku. Deg! Dunia nyata dan dunia mimpi seperti berkelut dalam otakku.

*

            Aku datang pagi hari. Mengincar bangku paling depan. Aku tak ingin ketinggalan dengan pelajaran yang menggiurkan. Aku duduk sendirian, kelas masih sepi. Mungkin teman-teman masih sibuk dengan dunia mimpi. Aku membolak-balik buku perlajaranku. Terlalu rajin.

            Tatapanku mengarah ke jendela. Langit terlihat mendung. Disayangkan jika hujan. Hujan membuat banyak orang menjadi malas, dan mengantuk.

            Heran, sudah jam segini, yang datang hanya segelitir orang, bisa dihitung dengan jari. Kemana teman-temanku? Jadi mendung tak tahan untuk menangis. Manja sekali, hujan.

            Kelas sepi, banyak yang datang terlambat. Pengajar sudah masuk ke kelas, dan yang lainnya masih tergopoh-gopoh dengan baju yang basah terkena hujan. Pria itu, yang ku tunggu-tunggu, dia datang terlambat. Seperti biasa, dia duduk di bangku belakang.

            Mata kami tadi sempat bertemu. Hanya beberapa detik. Lalu saling melepaskan. Seakan-akan tak terjadi apa-apa kemarin sore. Apakah semua pria seperti itu? Selalu mudah lupa dan dan mudah menganggap segalanya tidak terlalu penting?

            Aku menghela napas. Seharusnya dia memang tidak penting, dan aku juga tidak perlu memikirkannya. Tapi, sejak peristiwa itu, entah mengapa sosoknya selalu hadir di otakku. Aku tak bisa melupakan tatapan matanya yang begitu asing kala itu. Betapa manisnya dia, saat memberikan jaketnya untuk menghangatkan tubuhku yang kedinginan.

            Sialan!” Ucapku kesal dalam hati. Dia benar-benar berbeda. Mengapa dia tak semanis kemarin? Mengapa dia tak semanis dan sehangat ketika bersamaku, ketika hanya berdua. Mengapa segalanya berubah dalam hitungan jam?

            Aku jadi tak semangat memperhatikan pengajar. Aku tak ingin mencatat point penting pelajaran hari ini. Aku hanya ingin jawaban dari keberubahan dia yang tiba-tiba itu.

            Aku diam-diam dan sesekali memperhatikannya. Hm, nampaknya ada yang berbeda dariku. Posisi bangku tempatku duduk sedikit menyerong ke kanan. Berharap dia melihatku dan memperhatikanku meskipun hanya sebentar, seperti aku kepadanya.

            Kali ini pandanganku menjalar menyentuh rambutnya yang hitam namun sedikit ikal. Tak terlalu rapi memang, namun dengan potongan rambutnya itu, membuatnya terlihat lebih tampan dan sederhana. Rahangnya memperlihatkan kesannya yang angkuh. Seperti misterius dan sulit ditaklukan. Hidungnya yang tak terlalu mancing membuatnya terlihat menyenangkan dan lucu ketika menghela napasnya pelan. Lehernya yang jenjang memang kadang ia sembunyikan. Dadanya yang bidang membuat para wanita ingin sekali bersandar hangat dalam peluknya. Oh Tuhan, mahluk macam apa yang Kau izikan menggodaku kali ini?

            Sudahlah, aku memutuskan untuk melepas pandanganku dari sosoknya. Toh dia juga semakin cuek dan tidak mau menatapku. Dia sudah menjadi makhluk yang sangat berbeda, meskipun baru beberapa jam yang lalu kita menghabiskan waktu bersama.

            Pengajar meninggalkan kelas. Aku merapikan buku-buku dimeja. Teman-teman sudah keluar dari kelas, ingin segera pulang bermalas-malasan. Udara ingin ini memaksa mata ingin selalu terpejam dan selalu rindu kasur.

            Kelas sudah sepi. Aku selesai merapikan buku-bukuku. Siap untuk pergi meninggalkan kelas. Lajuku terhenti, dan tubuhku terhempas ke bagian awal. Jemari yang tak asing menyentuh lengan bahuku. Aku kembali terduduk.

            “Buru-buru ya Se? Di luar hujan.” Ucap pria itu santai. Kali ini dia duduk disampingku.

            “Oh ya? Nggak peduli. Aku ingin cepat kembali ke rumah.”

            “Sera……..”

            “Apa?!”

            “Kok sinis?”

            “Mau yang manis? Romantis? Cih.”

            “Kamu marah?”

            “Nggak.”

            “Sungguh.”

            “Serius. Orang sok misterius!”

            “Kamu tidak tersenyum.”

            “Aku senyum kepada orang yang menurutku penting.”

            “Sejak kemarin sore, aku belum jadi seseorang yang penting di hidupmu?”

            Aku terdiam.

            “Se? Kok diam?”

            “Aku bingung sama kelakuanmu tadi pagi. Kamu diam tidak menatapku. Tidak menyapa. Tidak melirik ke arahku. Kamu tidak sehangat kemarin.”

            “Aku pikir kamu marah.” Ucap pria itu setengah berbisik. “Ketahuilah Sena, kadang  pria memang tak perlu menunjukkan perasaannya.”

            “Semua pria gengsi. Gengsi gede-gedean!”

            “Kamu berarti belum paham.”

 

           

 

 

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

HARGA DAN ELASTISITAS PERMINTAAN DAN PENAWARAN

INTERVIEW cruiseship

Tugas