cerita cinta
Haruskah
Dia?
Ketika
rasa itu muncul tanpa alasan. Ketika hati terpanah tanpa diminta. Ketika itulah
perasaan aneh menggelumuti hati ini. Melalui perkenalan sederhana, melalui
tingkah laku tak terduga.
Aku selalu bertanya kepada Sang
Pemberi Cinta ini,
“Ya Tuhan, haruskah dia? Haruskah dia
yang kuperjuangkan? Haruskah dia yang selalu terlintas setiap detiknya di
otakku? Haruskah dia yang selalu memberiku kerinduan yang begitu dalam?
Haruskah dia yang aku cintai, yang aku sayang, yang ku takutkan kepergiannya
suatu hari?”
Begitu
sulit ku mencoba melupakanmu. Tahukah kau? Semakin ku melakukannya, semakin
hati ini tak kuat tuk melepaskan. Salah bukan diriku? Terlalu egois akan
perasaan ini. Tak bisa melepaskan, padahal kenyataanya, aku sama sekali tak berhak
atas kau, kau bukanlah milikku.
Dari
seseorang,
Yang tak
bisa melepaskan.
Mungkinkah
Kuterlalu Berharap?
Harapan.
Adalah bagian dari mimpi yang begitu berarti jika memang benar terjadi.
Aku
ingin, selalu berada didekatmu, bahkan disetiap harinya. Tak ingin ada jarak
memisahkan kita, sekalipun itu hal yang selalu kutakutkan selama ini,
perpisahan. Aku ingin kau selalu memberiku senyum manismu disetiap paginya. Aku
ingin selalu kau perhatikan. Selalu kau cari keberadaanku, ketika aku tak ada
disisimu. Selalu kau beri perhatian, dari hal yang paling sederhana. Aku ingin
kau menyayangi dan mencintaiku seperti yang kulakukan kepadamu.
Tapi
apalah arti semua ini. Jika kau tak pernah menggubrisnya. Harapan sirna begitu
mudahnya.
Dari
seseorang,
Yang
berharap banyak darimu
Ku Jatuh
Cinta pada Mata Indahmu
Selalu, dari sudut ruangan
kelas, tak pernah terlewatkan sedikitpun untuk memandangmu meskipun dengan
singkatnya. Rasanya seperti sebuah hobby baruku di sekolah. Aku selalu
mengikuti arah bola mata ini melaju. Mungkin benar, bola mata ini sudah terikat
dengan bola matamu. Seperti ada magnet yang menarik dengan kuatnya.
Ketika
bola mata kita saling bertemu. Seperti ada listrik yang menjalar di tubuhku.
Banyak kupu-kupu menari riang mengelilingiku. Aku seperti koma, kehilangan
oksigen sesaat. Jantung berdegup begitu kencang.
Selalu
saja, kutak pernah berani menatap mata indahmu begitu lama. Mungkin jika kita
beradu tatap, aku menyerah dan kaulah pemenangnya. Tak tahan rasanya menatap bola
mata indahmu itu. Bukan karena apapun, tapi karena tatapan mautmu yang begitu
tajam yang dengan lantangnya mengiris pandanganku.
Mungkin
kau tak tahu, mata indahmu itu adalah salah satu alasan dari sekian banyak
alasan mengapa aku menyukaimu. Mata sipit, ketika kau memberi senyummu itu,
hati ini meleleh tanpa alasan. Aku sangat menyukai dimana kau tertawa lepas,
itu benar-benar lucu. Aku selalu bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan.
Karena Dia telah memberiku sebuah pemandangan nyata yang begitu indah lewatmu.
Kuharap kau menjaga selalu mata indahmu itu, untukku, pengagum bola mata
indahmu.
Dari
seseorang,
Yang jatuh
cinta pada
Mata sipitmu
itu.
Perpisahan yang begitu Kutakutkan
Pertemuan kita bukan suatu
kebetulan. Aku selalu percaya itu, dan entah dengan keajaiban apa, Tuhan
menyebabkan kita saling berkenalan. Perkenalan yang tidak menimbulkan kesan
apapun pada awalnya. Aku menganggapmu seorang teman biasa yang nantinya akan
menjadi teman satu kelasku. Entah itu hanya untuk satu tahun saja, atau bahkan
hingga kita lulus dari sekolah. Hanya waktulah yang menjawab semuanya.
Sesekali,
ketika aku sedang menikmati heningnya malam, terlintas diotakku mengenaimu. Hay
kawan, yang kini berubah menjadi lawan rinduku disetiap waktunya. Aku begitu
tidak mempermasalahkan dengan status “teman” kita ini. Teman tapi asing. Memang
terdengar begitu lucu ditelinga. Bagaimana bisa dua orang yang berada dalam
satu ruang, namun saling sapapun jarang terlihat diantara mereka. Gengsi dan besar
perasaan egoislah penyebabnya.
Sejujurnya,
aku tak tahan dengan semua ini. Sungguh. Namun aku tak tahu lagi apa yang harus
kulakukan. Aku ingin sekali menyapamu terlebih dahulu jika memang kau ingin aku
yang memulainya terlebih dahulu. Tapi lagi-lagi, rasa gengsi itu muncul
ditengah tindakanku. Haruskan waktu yang ada terbuang sia-sia hanya karena rasa
egois dan gengsi yang berlebih ini? Entahlah. Aku ingin rasanya mengisi waktu
bersamamu. Membuat sebuah memori indah didalamnya, yang nantinya akan tetap
menjadi indah untuk dikenang. Kini aku sadar, meskipun kita “teman tapi asing”,
namun ada hal yang begitu ku takutkan dari pertemuan, yaitu ketika harus
mengikhlaskan sebuah perpisahan.
Dari
seseorang,
Yang
takut
sebuah
pertemuan
berujung
perpisahan
Hatiku
Memilihmu
Memang
benar, pikiran dan hati kadang tak sejalan. Pikiran memilih untuk pergi, tapi
hati meminta untuk tinggal. Susah memang sinkronnya.
Aku
selalu meminta, memaksa hati dan pikiran sejalan untuk sama-sama berhenti
berjuang untukmu. Tapi nyatanya, itu sulit diterima. Seperti hati ini telah
terperangkap dalam jebakan yang dibuatmu, yang dengan mudahnya kau buang
gemboknya. Sulit bukan kucari untuk kulepaskan jebakan itu? Sama halnya seperti
ku mencoba keluar dari permainan cinta ini. Semakin aku meminta untuk
melupakan, malah akhirnya semakin sayang. Entahlah apa maunya hati ini, hati
ini yang selalu memilihmu.
Balasan
Pendek Darimu
Aku
merasa bosan dengan heningnya malam. Semua sunyi seperti halnya tidak ada
penghuni. Aku yang masih membuka mata, iseng menyalakan laptop sembari duduk
bersantai melihat timeline twitter. Nampaknya tidak adil di tengah malam jika
hanya mengusik timeline saja, sehingga aku membuat sebuah tweet galau
tentangmu, walau sebenarnya hati ini tidak sedang merasakannya. Oke, apa yang
aku tulis belum tentu apa yang aku rasakan.
Tidak
disangka, ketika sedang asyik menguntit akun dwitasaridwita, yang notabene terkenal dengan tweet-tweet galau
remaja masa kini, kau ada dibarisan tweepers timelineku. Sontak, jantung ini
kembali berdegup begitu kencang. Padahal itu hanya tweet saja. Aneh benar
hatiku ini. Dan lagi, kau membuat tweet lucu, yang entah akupun sampai sekarang
belum memahami arti tweet itu. Lantas akupun membalas tweet ambigumu itu. Ah
tidak, aku merasa cemas gundah tidak karuan setelah mengirimnya. Takut, tidak
terbalaskan. Dua menit berlalu, kau membalasnya. Lagi-lagi, saat membaca itu,
kembang api lebaran segera melesat didadaku. Padahal itu terpapampang jelas,
hanya sebuah balasan pendek darimu. Oh tidak…..hatiku masih dekat denganmu. Aku
belum bisa berlari menjauhimu.
Sulit
Kutebak Hatimu
Empat
bulan sudah setelah perkenalan kita. Aku masih saja merasa asing denganmu. Tak
pernah saling menyapa, tak pernah saling berbicara. Ini memang lucu. Jujur, aku
iri dengan mereka yang bisa dengan santainya mengobrol asyik denganmu, tak
sepertiku. Kita selalu saja merasa kaku saat berbicara, tak ada candaan yang
terselip dipercakapan kita. Serius, seperti layaknya berbicara dengan robot.
Kau yang begitu cuek, aku yang begitu cerewet. Mungkin ini terlihat lucu jika
disatukan dalam sebuah hubungan.
Sikap
cuekmu itu, yang menyulitkanku untuk menebak hatimu. Entah apa dan siapa yang
ada didalam hatimu itu. Aku tahu, kau masih mengharapkannya yang beberapa waktu
lalu kau sia-siakan cintanya. Pasti kau menyesal bukan? Ya aku tau apa yang kau
rasakan itu. Kini kau mengejarnya, meskipun dia terlihat menolakmu
mentah-mentah. Kalian membingungkan. Kau yang mencintainya terang-terangan, dan
dia yang menyukaimu diam-diam. Sungguh rumit, sungguh tragis.
Aku
selalu bertanya, “kenapa mereka (kau dan dia) tak mencoba menjalin hubungan
lebih dari teman saja?” jika kalian selalu termakan dengan kata rindu dan
terbakar api cemburu. Ataukah, kau sudah menggantinya dengan seseorang yang
baru? Membuka hatimu kembali menapaki jejak cinta baru? Entahlah. Sungguh sulit
kutebak hatimu. Semoga cepat kudapatkan titik terang teka-teki ini.
Kulelah,
Berjuang Sendiri Untukmu
Entah apa yang sudah
kulakukan ini. Hatiku membawaku mencintaimu. Mencintai seseorang yang masih
terbayang dengan masa lalunya. Mencintai seseorang yang tak bisa melepas
kepergian masa lalunya. Mencintai seseorang yang mungkin tak akan pernah
merelakan masa lalunya. Kau sungguh egois, cintaku.
Setiap
waktu, aku harus merasakan yang namanya sakit hati, sendirian. Memperjuangkanmu
yang jelas-jelas menolak mentah untuk kuperjuangkan. Aku terlihat bodoh, aku
terlihat totol. Tapi apa daya, ketika rasa sayang muncul, pasti tidaklah mudah
untuk melupakan meskipun orang itu sudah menyakitinya begitu dalam, begitu
sering. Hatiku sudah terlalu kebal mendengar ocehan-ocehan tentangmu, membaca
kata cinta darinya tentangmu, dan melihat sikap nyatanya tentangmu. Oh tidak,
bukan hanya dia tentangmu, tapi juga kau tentangnya.
Tidakkah
kau harus memberi hatiku sebuah penghargaan sederhana, yang telah berjuang
mati-matian sendiri untukmu, yang berharap cintanya dilihat meskipun tak
dibalas. Sangat kuat bukan diriku dan hatiku? Tapi aku yakin, suatu saat aku
ada dititik jenuh, dimana aku akan merelakanmu dengan mudah, melepasmu dengan
gampangnya, dan menggantikanmu dengan yang lebih baik. Ini bukan sebuah karma,
tetapi hukum alam yang berlaku. Semoga suatu saat nanti kau akan menyadarinya,
bahwa menyia-nyiakan seseorang yang mencintai dan menyayangimu dengan tulus itu
begitu merugikan. Kini aku lelah memperjuangkan semuanya. Aku memilih mundur.
Merelakan, dari pada memperjuangkan sendirian.Terima kasih sudah mengajariku
arti berjuang namun disia-siakan.
Andai, Melupakanmu
itu Mudah
Hay
kamu, yang pernah memberiku kesempatan untuk merasakan cintamu. Kini aku sedang
berjuang mati-matian untuk melupakanmu setelah sekian lama tenggelam dalam
kebegoan, yang pada akhirnya aku merasa lelah dan mundur. Aku selalu memaksa
untuk melupakanmu, namun justru aku malah semakin takut kehilanganmu. Sungguh
cinta sudah membutakanku.
Pantaskah
aku memelihara kelabilanku ini? Aku yang tak pandai menghadang emosi. Memang
terlihat tidak asing untuk remaja seumuran kita, yang menjadikan “labil”
sebagai jiwanya remaja. Entahlah, mungkin itu benar, seperti yang sedang
kualami ini. Jika melupakanmu semudah membalikkan telapak tangan, pasti tak
pernah kurasakan kembali kecewa dan rasa sakit yang begitu dalam.
Mencintaimu
adalah Suatu Kebodohan
Masih tersisa
bayang-bayangmu di kamarku. Suara pendingin ruangan, ketikan jemari di laptop,
dan setiap inci ketika aku melempar pandang, entah mengapa wajahmu selalu hadir
disana. Aku tahu ini bukan lagi perasaan biasa, perasaan yang tak jelas
ujungnya, perasaan yang membuatku bingung dan linglung.
Rasanya semua terjadi
begitu cepat, kita berkenalan lalu tiba-tiba merasakan perasaan yang aneh.
Setiap hari rasanya berbeda, tak lagi sama. Kau hadir membawa banyak perubahan
dalam hari-hariku. Hitam dan putih menjadi lebih berwarna ketika sosokmu hadir
mengisi ruang-ruang kosong dihatiku. Tak ada percakapan yang biasa denganmu,
semua terasa begitu luar bisa. Entahlah perasaan ini tumbuh melebihi yang
kutahu. Sepertinya aku mulai menyukaimu.
Aku menjadi takut
kehilanganmu. Siksaan datang bertubi-tubi ketika tubuhmu tak berada didekatku.
Kau telah mengendalikan otak dan hatiku tanpa sebab yang tak kumengerti. Aku
membutuhkanmu seperti aku butuh udara. Nafasku tercekat ketika sosokmu yang
terpandang oleh mata. Salahkah dengan perasaanku ini?
Tapi entah mengapa,
sikapmu berbeda kepadaku, tak seperti sikapku kepadamu. Perhatianmu tak sedalam
perhatianku, dan tatapanmu tak sedalam tatapanku padamu. Adakah yang salah
diantara kita? Kau mungkin belum terlalu paham dengan perasaanku. Kau terlalu
sibuk mengerti perasaannya tanpa mempedulikan perasaanku. Berdosakah aku jika
meneteskan air mata untuk seseorang sepertimu? Aku selalu kehilanganmu, kau
pergi tanpa meminta izin. Meminta izin? Memang aku siapa? Kekasihmu? Bodoh!
Tolol! Aku tak punya hak sedikitpun terhadapmu. Kau masuk dalam mimpiku saja
aku sudah sangat bersyukur.
Salahkah
jika Kuterlalu Berharap
Sadarkah
sikapmu selalu melukai hatiku? Perkataanmu selalu menghancurleburkan
mimpi-mimpiku. Apakah aku tak pantas bahagia bersamamu? Aku bukan siapa-siapa
dimatamu. Dan mungkin tak akan menjadi siapa-siapa dimatamu. Aku ingin tahu
sebenarnya dimana kau letakkan hati yang sudah kuberikan padamu? Aku
mencintaimu dan kau yang entah mencintaiku atau tidak. Terlalu muak dengan
banyak pertanyaan dan persoalan dalam hidupku. Yang kaupun enggan untuk
menjawab dan mencari tahu soal perasaanku. Siapakah seseorang yang beruntung
karena memiliki hatimu?
Mungkin
semua memang salahku. Yang menganggap semua berubah sesuai keinginanku. Yang
bermimpi bisa menjadikanmu lebih dari teman. Salahkah aku jika perasaanku
tumbuh melebihi kewajaran? Aku mencintaimu tidak sedekar hanya sebagai teman,
tetapi juga sebagai seseorang yang begitu berarti dihidupku.
Namun,
semua jauh dari harapanku. Mungkin aku memang terlalu berharap banyak. Akulah
yang tak menyadari posisiku dan tak menyadari kedudukanmu yang begitu jauh dari
genggaman tanganku. Akulah yang bersalah. Tapi tenanglah, kau tak perlu
mengasihaniku. Aku sudah terlalu sering tersakiti, terutama jika sebabnya itu
kau. Menjauhlah, aku dekat dengan kenyamanan sendiri saja. Yang tak ada sosok
sepertimu hadir kembali dalam hidupku.
Tak Banyak yang Aku Minta, Tuhan
Tuhan…..selamat
pagi, ataukah selamat siang, dan selamat malam. Aku tak tahu disana sedang
musim penghujan atau kemarau. Ataukah musim salju? Jika memang benar pasti
sangatlah indah. Kalau boleh berbincang sedikit, aku belum pernah merasakan
nikmat dari musim salju. Aku akan melihat dan menyaksikannya nanti jika sudah
dewasa dengan menggunakan uangku sendiri.
Tuhan,
aku tahu Kau tak pernah sibuk. Aku tahu Kau selalu mendengar isi hatiku yang
tak pernah bosan Kau mendengarnya. Aku percaya, Kau selalu tersedia untuk
siapapun, siapa saja yang lelah dengan dunia yang membuatnya menggigil. Aku
mengerti, tanganMu selalu siap merangkai dan menyatukan kembali hati yang sudah
patah berkeping-keping.
Masih
dengan hal yang sama, Tuhan. Aku belum untuk mengganti topiknya. Dia, seseorang
yang selalu kuperbincangkan sangat lama bersamaMu. Seseorang yang selalu
kusebut dalam doa ketika aku bercakap panjang denganMu.
Aku
tahu, bahwa perkenalan akhirnya membawa perpisahan. Pernah terpikir agar aku
bisa terkena amnesia dan menghilangkan rasa sakit yang pernah kurasa. Agar aku
tak pernah merasa kehilangan dan tak pernah menangisi sebuah perpisahan.
Rasanya hidup tak akan terlalu rumit jika setiap orang mudah melupakan rasa
sakit dan hanya mengingat rasa bahagia. Namun….aku tahu hidup tak semudah itu,
Tuhan. Harus ada rasa sakit agar tahu rasa bahagia.
Aku
memang tak perlu meratap, karena memang sepertinya dia bahagia dengan orang
pilihan hatinya. Ia pasti telah menemukan dunia baru yang indah dan
menyenangkan. Aku turut senang jika hal itu benar. Tuhan, aku tak ingin dia merasakan
sakit hati karena adanya perpisahan. Kembali pada bagian awal, aku hanya ingin
dia bahagia. Cukup.
Mengertilah,
Aku bukan Robot
Ini
tentang perasaanku kepadamu. Kau mengira aku adalah “robot” yang tidak memiliki
perasaan dan tidak dapat merasakan sakit, sehingga kau bisa mengabaikanku
sesering yang kau suka. Aku selalu memberi perhatian terbaik yang bisa aku
berikan. Sayangnya, usaha terbaikku lebih sering mendapat pengabaian, kadang
kau merespon, tapi respon itu tidak sungguh-sungguh. Responnya itu seperti
penghiburan untuk seorang “robot” yang telah kelelahan dan kebingungan.
Aku
tidak mengerti, apakah semua yang aku lakukan untukmu adalah hal yang sia-sia
atau tidak? Aku tidak mengerti. Apakah benih baik yang aku tabur telah siap
menuai kebaikan yang telah aku harapkan? Ataukah tidak menghasilkan sama
sekali?
Memang
aku labil dan tidak cerdas secara emosi. Aku pernah mencoba berkali-kali
melupakanmu, sayangnya hal itu tidak dapat dilakukan secara instan. Kalau benci
diabaikan? Lalu kenapa aku tetap bertahan saat aku perhatian tapi kau tidak?
Kenapa aku bertahan saat aku merasa rindu tapi kau tidak? Kenapa aku bertahan
dianggap “robot”? Kenapa aku bertahan diabaikan? Bahkan semua wanita normalpun
tidak ingin melalukan hal seperti ini, diabaikan. Tapi mengapa aku tetap
melakukannya?
Aku
tidak menuntut status, karena menurutku perasaan yang kuat tidak dilambangkan
dengan status. Aku memang tidak pernah menuntut perhatian, karena menurutku kau
adalah orang yang memiliki segudang kesibukan yang mungkin tak memikirkan
seseorang yang lain. Aku hanya ingin kau mengerti, bahwa aku bukanlah “robot”.
Karena aku tahu rasanya sakit hati, dan rasanya diabaikan.
Aku Bukan
Harapanmu
Apa kabar? Sepertinya kau
baik-baik saja. Jika memang benar aku turut berbahagia. Mustahil memang jika
kau kini tak merasa bahagia. Bagaimana bisa? Dia seseorang yang selalu kau
harapkan kehadirannya dan selalu kau nanti untuk bersamamu, kini sosok itu
benar-benar nyata ada di dekatmu.
Bagaimana denganku. Apakah kau tak ingin
mengetahui kabarku ini? Mungkin tidak. Tak ada gunanya bagimu menanyakan hal yang begitu tak penting. Aku sakit. Hampir setiap hari
aku harus berjuang mati-matian memaksa hatiku bekerja keras untuk melupakanmu.
Aku terlalu egois. Memaksa hati untuk tetap mencintaimu meskipun nyatanya
selalu kau acuhkan.
Bagaimana
bisa aku menuntut status lebih kepadamu? Padahal jelas aku bukan apa yang kau
inginkan. Jelas saja kau selalu mengabaikanku. Ini terdengar lucu, aku seperti
tak tahu malu.
Kau
mungkin sering membaca ocehan-ocehanku di twitter. Dan mungkin kau peka bahwa
itu kutujukan untukmu. Kau memilih membiarkannya dan tak menggubrisnya. Tapi
lagi-lagi aku harus sadar, bahwa AKU BUKANLAH YANG KAU HARAPKAN.
Hari Ini
Luar Biasa
Hari ini aku duduk berdampingan
denganmu. Ini bukan kebetulan yang disengaja. Entah bagaimana perasaanku saat
sebelumnya aku mengetahui akan duduk bersamamu keesokan harinya. Begitu
mengetahuinya, perasaan aneh muncul dariku. Aku sedih, senang, juga kecewa.
Seperti mengharapkannya, tapi tak ingin terjadi.
Ini seperti mimpi yang
nyata bagiku. Aku duduk berdampingan sehari denganmu. Seperti yang sudah
kuduga, kita saling membisu, membiarkan suara-suara tak tentu terdengar di
rungu. Tak ada percakapan yang mengawali perasaan dingin diantara kita.
Miris…..seperti berhadapan dengan orang asing. Atau bahkan robot. Aku tak tahu
apa yang harus kulakukan untuk mencairkan suasana, mungkin begitu juga
denganmu. Kau membuka percakapan hanya menanyakan buku matematikaku saja.
Cukup. Tak ada lebihnya. Setelah itu kita kembali ke bagian awal. Saling berdiam.
Singkat saja. Untukmu,
terima kasih sudah membiarkanku duduk berdampingan denganmu hari ini. Terima
kasih sudah membiarkanku mengenal sosokmu lebih jauh. Meskipun nyatanya aku
sudah mengetahuinya lama. Oh tidak….aku tidak ada apa-apanya dibandingkan dia
yang sudah mengenalmu lebih lama. Maafkan aku yang terlihat canggung di
depanmu.
Kau Ini Bagaimana?
Hari ini aku tidak melihatmu.
Tidak menikmati mata sipitmu, senyum manismu, dan hidung yang terlihat mancung
setiap aku membenamkan tatapan di wajahmu. Hari ini, seperti biasa, kau
menghilang dan tak ada kabar. Dan hari inipun kau tak mengizinkanku sedikit
saja tahu keadaanmu. Apakah pilekmu sudah hilang, apakah batukmu sudah sembuh,
apakah demammu sudah turun? Aku pergi ke
tempat kita menimba ilmu, tempatmu dan tempatku berdiam dan belajar.
Kau harus tahu. Setiap
kita berjumpa tak sengaja di tempat parkir sekolah, rasanya aku hanya ingin
terus menatap wajahmu dan kau tak pernah pergi lagi. Aku hanya ingin waktu
berhenti, dan wajahmu bisa kunikmati sepuas hati. Mungkin kau tertawa geli.
Gadis polos ini tak tahu diri. Padahal kau sudah ada yang memiliki, dan tak
menyadari bahwa kau hanya abadi dalam mimpi. Hahaha gadis tak tahu diri, yang
mengharap terlalu tinggi.
Aku tak seberani mereka.
Aku hanya bisa mencari kabarmu dari Twitter, mencuri keindahanmu dari akun
Facebook, dan diam-diam bertanya mengenaimu lewat teman-temanku. Ah, iya, aku
pengecut. Kau boleh menertawakan perasaanku sesukamu. Sejak mengenalmu, aku tak
bisa bedakan siapa yang pantas kutinggalkan dan kuperjuangkan. Hatiku telah
memilihmu, kau yang justru telah memilih hati yang lain.
Kau Tahu
Sayang, aku menulis ini
sambil mendengarkan lagu ciptaan Ahmad Dhani berjudul Immortal Love Song.
Selera musikku mungkin berbeda denganmu. Namun lagu ini seperti membisikan
banyak hal yang kurasakan. Tentang gadis yang tak meminta untuk dibalas
perasaannya, tentang seseorang yang hanya bisa melihat dan memandang, namun
enggan mengajak bicara, atau tentang aku yang diam-diam mencintaimu? Dalam lagu
ini tergambar ada sosok yang alay, tolol karena jatuh cinta. Mungkin aku sedang
berada difase ini.
Kau tahu, aku tak pernah
meminta Tuhan menurunkan perasaan ini. Kebetulan aku bertemu denganmu dan aku
mencintaimu. Tapi sayangnya aku tak percaya arti kebetulan. Pasti ada sesuatu
yang tak mampu kita pahami dan kita mengerti. Ada suatu rahasia yang masih
Tuhan simpan. Rahasia yang berwarna abu-abu yang sedang kujalani.
“Hay kamu. Cowok bermata sipit.
Mantan gebetan pipit. Orang pelit. Dan yang paling sulit.”
Tidak, jangan dianggap
serius. Aku hanya bercanda.
Bagaimana bisa aku mengatakan bahwa
kau ini pelit? Walau sejujurnya iya.
Bukan pelit akan materi kok, tapi
pelit akan perasaan.
Kau membiarkanku berjuang sendirian terhadapmu
Meskipun kau tahu bahwa kaulah yang
sedang kuperjuangkan
Kau memilih berdiam, menonton, dan
menyaksikan aku bermain peran
Sungguh
Dimana kau letakkan hatimu ini?
Disini aku mati-matian
melawan otakku
Yang memintanya
merelakanmu
Tapi lagi-lagi, aku tak
bisa berbuat banyak
Hatiku tetap memilihmu.
Ini bukan salahmu. Ini
salahku
Aku memang tak tahu diri
Terlalu egois
Dan berpikir tak logis
Percuma mulutnya tertawa tapi batinnya TERSIKSA.
Mungkin itu yang sering
aku rasakan setiap harinya. Aku berjumpa dengan teman-teman di sekolah dengan
alasan bisa melupakan sejenak masalah cintaku ini. Tapi itu tak lagi sama,
ketika sosokmu nyata hadir diantara mereka. Sungguh, meskipun aku tertawa lepas
tapi batin tersiksa ketika melihatmu. Aku muak setiap harinya mendengar,
melihat, dan beragumen tentangmu. Yang entah itu benar dan tidaknya.
Tahukah kau? Hampir setiap
hari di sekolah, yang aku ceritakan tidak jauh yaitu tentangmu. Mungkin mereka,
teman-temanku merasa bosan dengan ceritaku yang masih saja dengan topic yang
sama. Tak ada perubahan, masih tetap angan. Akupun enggan untuk mengganti
topicnya.
Kau sepertinya tak tahu,
mereka, teman-temanku yang memang sebenarnya juga memiliki masalah hati dengan
berbagai macam keadaan. Mereka selalu setia mendengar ceritaku tentangmu. Maaf
aku terlalu lancang. Membiarkan orang lain mengetahui isi hatiku. Tapi setidaknya
mereka mengertiku, tidak seperti kau yang tetap saja tak mau memahami hatiku.
Aku salah. Tak seharusnya
aku berbagi kesedihan dengan mereka. Padahal kaulah pelaku utama dari semua
rasa sedihku. Aku si pembuat rumit teman-teman. Maaf.
Dia
Iya dia, selalu dia dan dia lagi.
Mengapa? Apakah perempuan itu begitu menyukaimu dibandingkan aku? Apa rasa
sayangnya mampu melebihi rasa sayangku? Tolong katakanlah, aku mohon.
Sebenarnya aku sudah mengetahui bahwa
jawabanmu sungguh berbalik dengan seluruh prasangka burukku bukan? Kau juga
hatimu begitu halus, hingga mampu menutupi segala sesuatu yang sebenarnya
pernah terjadi.
Aku selalu terbiasa dengan mengatakan
“aku baik-baik saja”, bahkan kata-kata itupun sepertinya tak lagi kau hiraukan.
Tetap saja, aku yang mengetahui semuanya belakangan. Selalu aku yang terlambat
datang. Mengapa?
Tolong, lihat aku yang berada di depan
matamu, jangan menoleh kebelakang yang semata-mata hanya membuat hatimu luka
(lagi). Tidak cukupkah seluruh kata-kata manis dan perhatian nyataku padamu
selama ini? Sudah cukup, bukan? Maka nikmatilah. Lirik saja dia untuk beberapa
detik, lalu tetaplah bertahan untuk menatapku sekuat apa yang kamu bisa! Maaf,
lagi-lagi aku egois.
Bisakah
Kau Mengerti?
Kau begitu sulit dan aku tak dapat
mengerti apa yang kau ingini saat ini. Kini, aku sama sekali tak mendapatkan
celah di hatimu lagi. Kudatangi, kau berlari. Ku jauhi, kaupun membelakangi.
Lalu apa salahku ini? Mengapa tetap saja kau tak mengerti?
Bulan demi bulan berlalu. Ada sedikit
pikirku berkata untuk pergi. Ketakutanku yang slama ini selalu menghujam
batinku pun telah datang. Hingga sampai titik lelah ini kau
semakin menjauhiku. Kau terus menghindar dari pandanganku.
Aku tak pernah sedikitpun menuntut pada
apa yang kuingini dalam dirimu. Aku berusaha menerima segalanya tentangmu.
Baik, buruk, dirimu itu. Bahkan apa pernah kau tahu? Sampai aku tak
mempedulikan diriku ketika aku mulai mengerti bahwa ku mencintaimu.
Keacuhanmu, membuatku merasa bahwa aku
tak pantas berada disampingmu. Tapi apa daya hati yang terus meronta ini?
Dapatkah kau mengerti? Sanggupkah kau pahami?
Rasa ini semakin dalam, semakin terasa,
semakin menusuk relung batinku. Tapi untuk apa? Bahkan kau tak pernah sesekali
menjenguknya.
Peluk Aku Ayah
Selamat pagi Ayah. Apa kabar? Aku,
putri kecilmu disini merindukan pelukan hangat ayah. Aku rindu ayah yang selalu
menenangkanku disaat hatiku meronta.
Ayah memang pria terbaik yang
kumiliki. Ayah seseorang yang paling aku sayang dan aku cintai. Bagaimana
tidak? Ayah yang selalu memberikan waktunya berbagi cerita denganku. selalu
mendengarkan curahan hatiku, selalu memberi nasehat untukku, selalu bersabar
menghadapiku, selalu menguatkanku disaat terpuruk, selalu memberi semangat
disaat aku sudah lelah dengan kerasnya dunia. Selalu menyayangi dan mencintaiku dengan
tulus. Memberiku jutaan bahkan milyaran kasih sayang. Tak pernah berani
menyakiti putri kecilnya. Ayah adalah sahabat dikala lara.
Bukan, aku bukan dan tak akan pernah
membandingkan Ayah dengan Ibu. Ayah pasti tahu bukan, Ayah pria terhebat bagiku
dan tak ada tandingannya. Begitu juga dengan Ibu. Ibu juga wanita terhebat dan
terbaik yang aku punya. Stttt. Ini rahasia yah. Hanya aku, ayah, dan Tuhan yang
tahu.
Ayah, putri kecilmu ini kini sudah
tumbuh menjadi dewasa dan sudah tidak anak-anak lagi. Tapi sifat manjanya masih
melekat padanya, belum berubah, masih tetap sama. Kini dia sudah merasakan yang
namanya sakit. Bukan sakit karena jatuh, hanya kaki dan lutut yang terluka,
tapi juga hati yang terluka. Sungguh, aku rindu masa kecil yang begitu sederhana,
yah.
Ayah,
dulu kau adalah teman bermainku. Sekarang aku
harus menghadapi permainan hidup, sendirian. Kadang aku lelah menghadapi dunia ini. Jika aku boleh meminta,
izinkan aku bersandar dibahumu sejenak, yah.
Aku selalu ingat dengan ucapan ayah yang
ini, “Jadilah anak yang berani nak, berani menerima risiko, berani mengambil
keputusan.” Ayah tahu? Aku selalu menggenggam erat setiap kalimat yang Ayah
ucapkan kepadaku. Dari sinilah aku belajar menjadi orang yang bertanggung jawab
dan tidak bertingkah juga berkata seenaknya.
Ayahku
hanya satu di dunia. Dia orang yang resah saat aku merasa kalah. Ia yang
menangkan saat aku tidak menang berjuang. Terima kasih ayah, yang begitu setia
mendampingiku hingga aku tumbuh dewasa. Tetaplah menjadi ayah yang aku kenal
dan aku banggakan. Berdirilah selalu menemaniku dan tetaplah kuat hingga kau
menyaksikan kesuksesanku. Aku, putri kecilmu ini begitu mencintaimu.
Bertahan atau Melepaskan?
Sebuah kalimat yang membuat hatiku
merinding ketika mendengarnya. Saat ini aku ada diposisi yang entah susah untuk
dijelaskan. Aku bingung dengan keadaan ini. Jika tetap bertahan, pasti tahu
akibatnya, akan mendapat sakit begitu dalam. Namun jika melepaskan, hati tak
mudah begitu saja melupakan. Oh Tuhan, bantu aku mengatasinya.
Aku sulit membaca tingkah lakumu.
Kadang kau begitu peduli, namun dilain waktu kau begitu cuek. Sebenarnya kau
anggap aku ini apa? Hanya sebuah pelampiasan ketika pikiran dan hatimu sedang
kacau? Bagaimana bisa. Ketika kau peduli kepadaku, aku mengganggapnya itu sesuatu
yang begitu luar biasa. Tapi ternyata, pikirku hanya sebuah anggapan saja. Kau
masih belum berubah. Masih tetap sama. Tak pernah ingin memahami isi hatiku. Ah
aku lupa….bahwa kau memang tak punya rasa sayang sedikitpun kepadaku. Lantas
kau membiarkanku berjuang bertahan sendirian, dan yang pastinya merasa sakit
sendirian karena banyak mendapat pengabaian.
Aku
hanya ingin mengingatkan. Tiap hati punya batas
menunggunya sendiri. Kalau sudah sampai di ujung jenuh, akan mundur tanpa di
suruh, dan akan mengalah tanpa di perintah.
Sebuah Harapan Kecil
Aku mau seperti mereka,
bisa tersenyum lebar tanpa sedikitpun kesedihan yang mereka
rasakan!
Aku mau seperti mereka,
yang bisa bebas berekspresi!
Aku mau seperti mereka,
dapat bangkit kembali saat mereka terjatuh!
Aku mau seperti mereka,
saat airmatanya jatuh untuk kebahagian bukan kesedihan!
Aku mau seperti mereka,
mudah melupakan masalalu dan membuka lembaran baru!
Tapi
mengapa aku tak bisa Tuhan? Kenapa aku harus tetap terpuruk saat banyak orang
yang membantuku untuk bangkit, tapi ku tak bisa? Kenapa kau berikan aku rasa
yang sangat besar untuknya? Kenapa harus kau pertemukan jika akhirnya kau
pisahkan? Kenapa aku harus merasakan sakit yang teramat sangat ketika melihat
dia bersama wanita lain? Jangan biarkan kesedihanku menutupi keceriaanku, aku
tak sanggup melihatnya aku tak sanggup! Mengapa sehari saja tanpanya aku merasa
tak berarti? Buatlah aku tersenyum Tuhan, sedetik saja aku ingin merasakan
sebuah senyuman karena aku memang bahagia bukan karena untuk menutupi
kesedihanku. Tanpanya ku yakin aku sanggup! Sebuah harapan kecil untukku
adalah, tersenyum BAHAGIA!
Entah……
Aku selalu bertanya, meminta dan
memohon agar Tuhan memberiku jalan dari keraguan yang ku alami. Aku ragu,
resah, dan gundah kemana jalan kuharus melangkah. Otakku memintaku pergi, namun
hati memintaku tetap tinggal. Maaf, aku masih memilih menggunakan perasaan.
Tidak sepertimu yang tetap saja menggunakan logika.
Apakah aku terlalu bodoh? Memperjuangkanmu
yang tak pernah menghargai sedikitpun pengorbananku. Menghargai? Melihatnyapun
tidak. Aku tahu jika semua akan ada difase sakit hati yang mendalam. Dan seperti
yang sedang aku rasakan ini.
Oh
tidak, gadis pengecut. Kau sendiri yang memutuskan mencintainya. Mencintainya
diam-diam. Menyayanginya diam-diam. Memperhatikannya diam-diam. Dan merasakan
sakit hatinya diam-diam.
Sampai
kapan kau akan tetap bersembunyi seperti ini? Menyembunyikan perasaanmu yang
sebenarnya. Sampai dia bosan, pergi, dan memilih yang lain?
Hay Tuan, percayalah. Bertahan untuk
tidak mengungkapkan ini lebih buruk dari sekedar patah hati. Kuharap kau
mengerti dan memahaminya.
Terima
kasih, kau tetap mengagumkan di mataku.
Kamu Jahat
“Maaf
aku terlalu lancang mengatakannya. Mengatakan bahwa kamu itu jahat.“
Kah,
tahukah kamu? Aku lelah. Aku begitu lelah. Lelah berterus terang mencintaimu,
dan seakan-akan tak peduli dan membencimu. Aku tahu, bahwa sesuatu yang dipaksa
memang tidak baik. Namun aku mencoba, memaksa hati dan pikiran untuk sejalan.
Sejalan untuk pergi. Dan mengambil hatiku yang beberapa waktu lalu kutempatkan
dan kupercayakan padamu.
Namun
lagi-lagi, kepercayaanku kamu sia-siakan begitu saja. Kamu memilih
membiarkannya dan tak menggubrisnya. Kamu membiarkan hatiku merasakan sakit dan
patah hati begitu dalam. Dimanakah kamu letakkan hatimu itu? Kamu mematahkan kepercayaanku
dengan mudah sekali?
Aku
pernah dan sempat, menganggap bahwa kamu adalah seorang pria yang menjadi
harapanku selama ini.Tapi anggapanku ternyata salah. Kamu memilih menanggapi
egomu yang besar itu, dibandingkan memahami perasaanku.
Kah,
jangan membuatku menunggu jika memang akhirnya kamu akan pergi. Jangan
membuatku berharap jika memang itu hanya kepalsuan. Jangan membuatku terbang
tinggi jika memang akhirnya kamu jatuhkan. Jangan memintaku untuk tinggal jika
memang itu hanya alasan. Dan yang pasti, jangan kamu permainkan perasaan
seseorang. Terutama perasaan cinta yang begitu tulus dan apa adanya.
Kamu yang Disana
Hay. Apa kabar? Apa kabar, kamu yang
membuatku dilanda mabuk rindu. Apa kabar, kamu yang membuatku memikirkan
sesuatu tentangmu seharian ini. Apa kabar, kamu yang hilang tiba-tiba dan tak memberikan
kabar apapun. Apakah kamu sudah makan? Apakah demammu sudah turun? Apakah sakit
yang menggerogoti tenggorokanmu sudah sembuh? Apakah kau baik-baik saja disana?
Itu beberapa pertanyaan dari sekian banyak pertanyaan yang terlintas di otakku
hingga saat ini.
Aku
disini menunggu kabar darimu. Tidak perlu kau jelaskan panjang lebar tentang
perasaanmu disana, cukup sapa dan sedikit kata sudah begitu bermakna untukku.
Setiap detik, menit, jam, aku selalu
memegang gadgetku dan sesekali mengecheck semua akun sosmed mu. Berharap ada
sedikit perubahan darinya. Aku mulai mengcheck, dari akun instagrammu, berharap
kamu mengposting beberapa foto. Aku mulai mengcheck akun facebookmu, berharap
kamu mengupdate sebuah status. Aku mulai mengcheck akun twittermu, berharap
kamu berkicau meskipun hanya satu tweet. Aku mulai mengcheck linemu, berharap
kamu memberi sapa dan menanyakan kabarku disini. Namun semua tak seperti yang
kuharapkan. Semua sama. Tak ada perubahan. Dan masih tetap angan.
Mmmm…. Atau kau begitu menikmati
keindahan ciptaan Tuhan disana? Hingga kau tak pernah terpikirkan untuk
memberiku kabar. Jika memang benar kau menikmatinya, justru aku begitu senang. Berarti,
semua rasa sakitmu beberapa hari lalu sebelum kau menyeberang pulau tetangga,
sudah membaik. Puaskan, gunakan matamu untuk melihat indahnya ciptaanNya,
gunakan telingamu untuk mendengar gemercik ciptaanNya, gunakan hidungmu untuk
mencium aroma asri ciptaanNya, gunakan tanganmu untuk meraba megahnya
ciptaanNya, dan gunakan kulitmu untuk merasakan lembutnya ciptaanNya yang
begitu luar biasa.
“Bersenang-senanglah
kamu disana, aku disini masih menunggumu.”
Pengecut? Aku atau Kamu?
“Pengecut?
Ah seperti clurut dan punya nyali takut.”
Pantaskah
kulontarkan kata liar ini untukku dan untukmu? Untuk kita. Iya. Yang saling
menahan gengsi dan membiarkan diri menikmati rasanya makan hati.
Kamu
membiarkanku menunggu sapaan darimu yang jelas-jelas tak akan pernah aku dapat
dan kubaca di layar ponselku. Percuma. Menunggu sesuatu yang sangat begitu tak
pasti. Hanya membuang waktu, tenaga, dan pikiran.
Aku
juga membiarkanmu menunggu sapaan sedikit modus yang pernah terpikir olehku
untuk kukirim dan berpura-pura jika aku salah mengirimnya. Namun setelah ku
mengetiknya selesai, segera kuhapus tulisan itu lagi. Sepertinya tak sopan,
mengirim pesan tak penting kepada orang penting yang disengaja.
Sampai
kapan akan bertahan dengan besar gengsi ini? Sampai aku dan kamu bosan?
Bersandiwara cinta layaknya sebuah cita? Hay Tuan, mulailah terlebih dahulu memberi
sapaan manis. Rasanya begitu lancang jika seorang Nona yang memulainya terlebih
dahulu.
Jangan
ragu, jangan takut tak terbalaskan. Aku disini menunggu pesanmu. Jadi,
pikirkanlah. Dahulukan ego atau perasaan?
Akhirnya… Kamu Kutemukan
Tiga
hari sudah aku tak menemuimu. Tak melihat mata sipitmu. Tak mendengar suara
kalengmu. Tak mencium aroma parfummu. Tak merasakan goncangan jantung saat
didekatmu.
Kamu
dimana? Sedang apa? Bersama siapa? Sampai kapan? Keadaanmu bagaimana? Tetap
diam saja. Mengapa?
Semua
unsure 5W+1H masuk ke dalam pertanyaan yang tersembunyi di otakku dan sedikit
mengganggu jalan pikiranku. Aku berusaha mencari tahu tentangmu. Membuka semua
akun sosmed teman-temanmu dan berharap ku dapatkan jawaban. Dua hari lalu, aku
tak pernah lepas dari gadgetku. Selalu memandangi layar, menunggu dan berharap
kau muncul diantara barisan para timeliner.
Hari
ini, waktu Indonesia bagian bosan, badmood, dan bodo amat. Aku iseng membuka
laptop merahku, yang beberapa kali kuharuskan bekerja keras untuk melihatmu dan
mencari tahu kabarmu. Aku begitu khawatir, ketika melihat kondisi badanmu yang
kurang baik tiga hari lalu.
Aku
mencoba mencari tahu lewat akun instagram temanmu. Dan
ternyata, kamu ku temukan. Dalam beberapa foto yang diunggah temanmu, kamu
terlihat baik-baik saja. Sepertinya sakit yang sempat membuatku cemas, kini
sudah hilang terhembus angin.
Dalam
foto itu terlihat jelas, senyum manis yang terpancar dari wajahmu dengan mata
yang menyipit, pipi yang membulat, dan rambut yang membahana hahaha kamu
terlihat sangat perfectionist.
Syukurlah,
kini aku lega bisa menemukanmu dan melihatmu meski dalam maya. Selamat
bersenang-senang kamu disana. Aku disini akan merindukanmu.
Sudah Saatnya, Aku yang
Pergi
Bicara tentang “harapan”. Dulu……bukan
dulu. Kemarin, aku pernah menaruh seonggok harapan kepadamu. Harapan yang
benar-benar ingin terwujud. Bukan hanya sebuah bunga tidur yang melarutkanku
dalam mimpi yang nyenyak.
Kemarin, aku memperjuangkanmu.
Mempertahankanmu. Bahkan menangisimu yang sama sekali tak pernah kau lihat
diriku. Aku seperti gadis polos yang tak mengerti apa arti cinta yang
sebenarnya. Yang hanya menuntut kepastian dan kejelasan.
Mudah melukai namun sulit mencintai? Begitukah
kamu?
Aku sering tersakiti oleh
pengabaianmu. Selalu berakting seolah-olah aku baik-baik saja. Selalu bersikap seolah-olah
tak pernah terjadi sesuatu padaku. Tetap ceria dan tersenyum.
Bahkan
seringkali teman-temanku menganggap bahwa aku ini beruntung dalam mencintaimu.
Mencintai seseorang yang begitu menyayangi. Menyayangi? Darimana mereka tahu
akan hal itu. Ah. Mungkin mereka benar. Aku yang salah. Hanya saja kau tak
pernah memberikan rasa sayangmu kepadaku. Kepada seseorang yang begitu
menyayangimu. Kau memilih memberikannya pada seseorang yang kau sayangi.
Kini aku semakin paham dan mengerti. Bahwa aku
harus pergi. Pergi dari kehidupanmu. Menghapus semua yang pernah kurasa.
Mencintaimu, menyayangimu, mempertahankanmu, memperjuangkanmu, menangisimu,
bahkan memperhatikanmu sekalipun.
Aku
sadar. Mencintai seseorang yang bahkan tak pernah mengaggap ada keberadaanmu
begitu menyia-nyiakan. Aku telah membuang waktuku yang begitu berharga hanya
untuk mencintai seseorang yang tak pernah mengerti arti menghargai. Kini, sudah
saatnya aku pergi.
Sunshine?
Sinar matahari pagi
menyelinap melalui celah jendela kamarku. Matahari pagi ini sepertinya sedang
tampak bahagia karena ia memancarkan cahaya yang terang dan hangat, bahkan aku
dapat merasakan kehangatannya melewati setiap pori-pori dikulitku. Walaupun
belum satupun tirai yang terbuka, cahaya pagi ini mampu membangunkan ku seolah
aku baru bangun dari tidur panjang. Perlahan ku buka mata tanpa sedikitpun
beranjak dari posisiku. Lalu aku berpikir, bisakah matahari itu membagi sedikit
kebahagiaannya untukku?
Suara burung-burung yang
menyanyi dengan merdu dipagi sepi ku cukup meramaikan sedikit hatiku. Aroma
tanah pun tercium sangat menenangkan hati, aroma yang segar akibat hujan lebat
tadi malam. Malam tadi benar-benar malam yang sangat sunyap dan sepi, sama
halnya seperti pagi ini, tak ada bedanya. Bahkan setiap harinya selalu seperti
ini. Bisa dibayangkan bagaimana perasaanku yang selalu melalui hari-hari yang
sama setiap harinya. Seolah aku hanya mengulang hari yang itu-itu saja. Seolah
aku bagaikan seekor marmut lucu yang setiap waktunya hanya berlari didalam
sebuah roda. Seolah telah berlari sangat jauh, namun kenyataannya aku masih
ditempat yang sama. Bagaikan bunga mawar yang memiliki banyak bunga lain
didekatnya, namun pada kenyataanya ia hanya sendiri bertumpu pada tangkainya.
Seolah aku telah berteriak sangat kencang tapi segala hal sekitarku bagaikan
ambigu, karena kenyataanya aku hanya sendiri bertumpu pada kedua kakiku. Seolah
aku berada didunia ini hanya seorang diri.
Dalam Kepedihan Hati
Saat itu aku tak sengaja melihatmu bersamanya,
seseorang yang pernah hadir dan mengisi masa lalumu, tak terkecuali hatimu.
Jantungku berdetak sangat kencang. Jemariku membeku seketika. Hatiku tercabik
luar biasa. Sayang, mengapa kembali kamu hadirkan luka, sedangkan luka lama
yang kamu torehkan masih belum kering. Kini luka itu semakin dalam dan semakin
perih. Aku tak tahu lagi bagaimana harus bersikap. Hatiku beku, lukaku perih.
Apa aku harus menyerah? Namun tak dapat kusangkal, cintaku masih sama, masih
seperti dulu. Kalau boleh jujur, aku tak ingin kisah kita selesai. Masih
terlalu singkat. Masih terlalu sedikit kenangan yang telah kita buat. Terlalu
sedikit. Tak akan cukup untuk kamu kenang nantinya. Hingga akhirnya kamu akan
cepat melupakanku. Dan suatu saat kamu akan menggandeng tangan wanita lain
dihadapanku. Jika saat itu aku tersenyum, bukan berarti aku turut bahagia. Ketahuilah,
hatiku meringis.
Kamu tak akan tahu seberapa banyak derai air
mata yang terus berjatuhan setiap detiknya. Seolah telah sampai pada titik
akhir kepedihanku. Aku tak sanggup lagi menahannya. Apa salah jika ku tunjukkan
air mata? Karna mulut ini tak lagi sanggup berucap, lidahku kelu tetapi air
mata ini mampu mempertegas segalanya. Mempertegas seberapa besar luka yang
kurasakan. Apa kamu belum juga mengerti? Aku lelah untuk terus berurai air
mata, seolah mataku semakin mengecil akibat tetesan air mata yang berdesakan
ingin keluar. Hari-hari ku menjadi sangat kacau, kamu selalu menjadi penyebab
air mataku. Akupun heran kenapa aku malah sering berurai air mata. Apa karena
aku terlalu mencintaimu? Jika iya, aku akan berusaha mengikis sedikit demi
sedikit rasa cinta yang ku miliki. Agar aku tak lagi merasa perih. Kalau bisa
aku ingin berhenti mencintai. Cinta hanyalah sebuah kesakitan bagiku. Benar
kata orang, bahwa segala hal yang berlebihan itu tidak baik. Buktinya kini
semakin aku mencintaimu, maka hatiku semakin mudah terluka.
Mungkin kamu berfikir sikapku ini terlalu berlebihan. Namun
siapa yang tahu isi hati seseorang? Bagimu mungkin biasa, karna bukan kamu yang
merasakan, melainkan aku. Kadang dengan menutup mata hidup akan jadi lebih
mudah daripada membuka mata, setidaknya kita tak perlu melihat apa yang tak
ingin kita lihat. Dan yang pasti tak perlu merasakan keperihan. Tak seperti aku
saat ini, air mataku tak berhenti berjatuhan membasahi pipiku. Namun kamu tetap
tak mengerti sedihanku, kamu juga tak hadir untuk menghapus air mataku.
Percayalah kamu tak akan temukan wanita yang rela menangis hingga seperti ini
untukmu selain ibumu. Dan wanita yang dengan bodohnya rela memberikan seluruh
rasa cintanya untukmu. Percayalah sayang, tak akan pernah ada yang seperti
Itu padamu. Hanya aku.
Aku masih ingin memaafkanmu
untuk hal ini. Namun jika kini kamu telah berhenti mencintaku, apa aku harus
memaafkanmu untuk hal itu? Sayang, hatiku sangat sakit. Segalanya tak lagi
sama, kita jauh dari kata manis, seperti saat dulu. Dulu kamu tak pernah
seperti ini, kamu yang tak peduli, kamu yang memarahi ku padahal aku sedang
berderai air mata. Dengan melihat sikapmu yang seperti ini, membuat aku sadar
bahwa tak ada celah untuk kembali. Cintamu tak lagi sama. Tapi ketahuilah, jika
suatu saat aku pergi, sesungguhnya aku tak benar-benar melepasmu, tak benar-
Benar melupakanmu, apalagi berhenti mencintaimu.
Aku Kembali,
Kembali Merindukanmu
Aku kembali diingatkan dengan banyak
kenangan. Entah akupun tak mengerti apa yang sedang hatiku rasakan kini. Aku
berpikir, bahwa sudah beberapa tahun aku mengubur kenangan bersamamu dalam-dalam, begitu dalam. Hingga aku lupa
bahwa kau pernah mengisi hari-hariku. Ternyata aku salah.
Kenangan
itu satu per satu kembali muncul diingatanku. Aku kembali di hantui dengan
beribu kisah yang pernah aku, kamu, dan kita lalui. Kisah dimana aku begitu
bahagia ketika bersamamu. Bahkan, hingga aku lupa akan waktu. Kau selalu bisa
saja membuatku tertawa. Tersenyum lebar ketika aku hendak membuka pesan singkat
darimu. Kau selalu bisa membuatku kesal, ketika kau melakukan sesuatu yang
menjengkelkanku.
Aku ingat betul, bahkan kau pernah
membuatku meneteskan air mata karena keusilanmu itu. Kau ingat? Dulu kau
meminjam jawaban tugasku, dan kemudian kau menghilangkannya. Aku marah dan
akhirnya aku menangis. Pikiranku buntu kala itu. Aku begitu cemas. Meskipun
begitu, kau masih saja usil kepadaku. Anak nakal. Namun tindakanmu yang
membuatku masih mengingatnya, kau bertanggung jawab, kau meminjamkan jawabanmu
dan kemudian meminta maaf secara langsung kepadaku.
Tak
bisa kusebutkan satu per satu semua kisah kita dulu. Itu terlalu banyak dan
terlalu menguras kertas jika benar kutuliskan. Mungkin, dengan kusimpan sebagai
kenangan, itu lebih dari cukup. Aku tak mengerti, setiap datangnya bulan suci
Ramadhan, aku kembai teringat denganmu. Dulu, tepat tanggal 1 Agustus, kau
berulang tahun. Disitu juga, hari dimana bulan suci Ramadhan telah tiba.
Aku
memberimu sebuah rangkaian kata indah, yang dimana didalamnya terselip begitu
banyak doa dan harapan di umurmu yang baru dan yang pasti untukmu, kedepannya.
Kemudian, aku meminta sebuah traktiran, seperti biasanya saat orang-orang
berulang tahun. Kau menyikapi dengan begitu hangat ucapan ulang tahun dariku.
Aku tersipu dengan balasan yang engkau kirim. Sayangnya, semua cerita yang kita
rangkum dalam pesan singkat, tidak ada satupun yang kutinggal, dan kusimpan.
Semua telah terhapus. Terhapus dari sebuah memory ponsel, namun masih tersimpan
rapi didalam hati.
Jika
boleh jujur, aku begitu lega ketika menceritakanmu kedalam coretanku ini.
Rasanya, waktu mundur begitu saja. Aku masuk kedalam dunia lalu. Ketika aku
masih bersamamu, dan ketika kau masih bersamaku. Terima kasih telah memberiku
beribu-ribu kenangan yang mungkin tidak dapat aku ingat dengan detail semuanya.
Terima kasih, kau masih tersimpan dihatiku. Disini, aku sedang merindukanmu,
bagaimana denganmu disana?
Benarkah Semuanya Berakhir?
Panasnya
mentari, dan alunan music “When I Was Your Man” yang dicover oleh Boyce Avenue,
menemaniku dalam menulis. Masih di laptop merahku, aku meluapkan semua
perasaanku. Dan mungkin kau tahu, bahwa dilaptop inilah sebagian luapan emosiku
kepadamu terangkum. Mungkin lancang jika aku masuk kembali ke dalam hidupmu,
bercerita tentangmu tanpa memberi salam. Jadi, aku akan menyapamu terlebih
dahulu. “Hai kah, apa kabar?”
Mungkin kau terkejut dengan tindakanku barusan. Kini aku
telah berubah, membuang semua gengsi yang sempat beberapa waktu lalu menahanku
dan membuatku memilih untuk diam. Aku berani menyapamu terlebih dahulu jika
memang itu yang seharusnya aku lakukan.
Jadi, untuk apa jika aku masih
memelihara gengsiku terhadapmu. Lagi pula kau tak akan dan tak pernah peduli
lagi. Kau sudah disibukkan dengan kebiasaan barumu. Ah, apa maksudku ini.
Memangnya dia peliharaan? Entah, kenapa aku berpikir bahwa kini kau berubah,
semenjak bersamanya. Seperti tak ada lagi rasa peduli yang kau tunjukkan
kepadaku. Seperti kau benar-benar yakin bahwa dia yang terbaik dan terakhir
untukmu hingga kau menutup begitu rapat celah yang sempat terbuka di hatimu.
Benarkah semuanya berakhir? Semua
kisah yang kita rajut. Kah, masih ingatkah kau kepadaku? Ataukah kau sudah
mebuang semua orang yang pernah masuk kedalam hidupmu termasuk aku, dan hanya
kau sisakan satu, yaitu dia. Jika memang benar seperti itu, aku tak masalah.
Lagi pula semua rasa sayang dan cinta yang pernah aku beri untukmu kini sudah
hilang ditelan waktu. Berbahagialah dengannya, dan akupun akan berbahagia
dengan caraku sendiri, dan dengan orang yang baru lagi. Tidak yang sepertimu.
Yang mungkin, dia jauh lebih baik darimu.
Untukmu,
Terima kasih
Terima kasih telah menyakitiku
Terima kasih telah meninggalkanku
Terima kasih telah membohongiku
Terima kasih untuk semua kenangan
Terima kasih untuk semua hadiah
Terima kasih untuk pelukannya
Terima kasih untuk pesan manisnya
Terima kasih atas janji palsu yang kau janjikan kepadaku
Terima kasih telah membuatku malu didepan teman-temanku
Terima kasih untuk ucapan “selamat malam”mu yang telat
Terima kasih telah mempercayaiku
Terima kasih telah membuatku merasa seperti gadis paling beruntung
di dunia
Terima kasih untuk menjaga rahasiaku
Terima kasih telah menjadi teman terbaikku
Terima kasih telah berada di sana untukku ketika aku memiliki
malam yang sulit
Terima kasih telah peduli kepadaku
Terima kasih telah membuatku menangis
Terima kasih telah membelaku ketika tidak ada seorangpun disana
Terima kasih atas pinjaman bahumu ketika aku menangis
Terima kasih telah membuatku tertawa ketika semua yang bisa aku
lakukan hanya menangis
Terima kasih untuk semua petualangan yang kita habiskan bersama
Tapi kebanyakan dari semua,
Terima kasih telah membuatku siapa aku
saat ini
Kau
Kembali Mengingatkanku
Tepat, 7 Juli 2015, aku kembali ke
sekolah. Tentu ada maksud dan alasanku pergi ke sekolah. Bukan, bukan karena
(hanya) ingin bertemu denganmu. Aku ingat, bahwa hari ini adalah hari dimana
kita mengembalikan raport yang beberapa waktu lalu kita pegang. Dan ini
artinya, kita masuk ke kelas baru. Suasana baru, orang baru, dan cerita baru.
Aku pergi ke sekolah sedikit terlambat
dari waktu yang diitentukan. Jelas saja, sebagian teman-temanku sudah ada yang
kembali ke rumah. Aku tidak bertemu dengan sahabatku. Ya, karena mereka
menyerahkan raport mereka terlebih dahulu.
Sesampainya di sekolah, aku disambut
oleh teman kita. Dia yang akrab denganku, begitu juga denganmu. Dia
mengantarkanku ke tempat dimana aku mengumpulkan raport milikku. Ketika hendak
berjalan ke tempat tujuan, aku melihat segerombolan yang tentu saja wajahnya
tidak asing bagiku. Mereka adalah teman-teman dekatmu.
Namun aku tak mengerti, mengapa ketika
aku melihat segerombolanmu itu, orang yang pertama aku cari adalah kau.
Dimanakah kau? Adakah kau disitu? Berada diantara mereka? Duduk berjejer
diantara mereka yang sekejap tertuju pandangannya kepadaku.
Oh tidak! Aku benar-benar mendapatkanmu.
Mataku menangkapmu dengan jeli. Aku melihat kau yang sedang mengarahkan
pandangannya kepadaku. Begitu juga denganku. Beberapa detik kita beradu tatap.
Rasanya lancang untukku jika tak segera mengakhirinya, Lantas aku mengedipkan
mataku agar terlihat bahwa aku tak memandangmu, meskipun sebenarnya aku
melakukannya.
Kau terlihat berbeda, jauh dari
sebelumnya ketika terakhir kali aku melihatmu. Wajahmu sumringah, dan pancaran sinar memancar dari
wajah imutmu. Senyum lebar yang kau perlihatkan, yang membuat pipimu terlihat
seperti bakpao. Aku masih ingat betul. Kau terlihat lucu jika sedang tertawa.
Kau terlihat manis saat sedang tersenyum. Dan kau terlihat begitu mengagumkan
saat kau sedang menatap dalam dan mengarahkan pandanganmu kepada seseorang.
Saat kau lakukan itu kepadaku, aku
kembali merasakan perasaan yang beberapa waktu lalu sempat menghilang dari
hatiku. Aku tidak lagi merasa gugup ataupun salah tingkah ketika berhadapan
denganmu. Hanya saja, sebuah memories kecil mengingatkanku.
Aku ingat saat dimana kau belum
bersamanya. Saat kau masih begitu polos. Saat kau tidak begitu mengenali apa
itu “cinta”. Saat kau masih terlihat begitu cuek dan bodo amat dengan
wanita-wanita yang mencoba mendekatimu. Namun kini kau berubah. Kau yang aku
kenal telah sirna. Dan sekarang, kau berubah menjadi orang baru. Yang tentunya
siap untuk menghadapi semua masalah. Karena kau tahu, bahwa kau semakin tumbuh
menjadi seseorang yang dewasa.
Tidak lama, aku menyadari, bahwa kau
kini sudah berlabelkan dia. Bukan lagi seseorang yang bebas untuk melakukan apa
saja sesuka hatinya. Bukan lagi seseorang yang bisa dekat dan berteman dengan
siapa saja. Kau kini sudah lebih berhati-hati. Sudah menjaga jarak dengan
orang-orang. Iya, karena aku tahu, bahwa kau benar-benar menghargai perasaan
seseorang yang telah kau perjuangkan cintanya dari lama.
Setidaknya, aku merasa bahagia hari
ini. Meskipun aku tahu, mungkin kita tak akan pernah dekat seperti dulu. Aku
bahagia dan merasa puas. Aku sudah melihatmu. Melihatmu bahwa kau sangat
bahagia dan merasa senang dengan kehidupanmu setelah bersama orang pilihanmu.
Tetaplah berbahagia dengannya. Jangan pernah merasa bahwa kau
sia-sia telah mencintainya. Jika ingin menyerah, ingatlah, bahwa dulu kau
pernah berjuang menghabiskan waktu yang lama, untuknya.
Kini, aku mulai menggoreskan tinta di lembaran
baruku yang masih kosong. Akan selalu kusimpan dalam hati semua cerita yang
pernah kita lewati. Meskipun tulisan ini akan musnah suatu hari nanti, namun
cerita aslinya tetap tersimpan dalam hati, dan akan selalu berada di dalam sini,
dihati ini.
Terima
kasih untukmu, yang mengajariku banyak hal baru. Yang mengajariku bahwa begitu
berharganya sebuah kehidupan. Yang mengajariku bahwa berjuang adalah keharusan.
Yang mengajariku bahwa kesetiaan dalah hidup itu penting. Yang mengajariku
bahwa waktu adalah uang, yang tak seenaknya dibuang. Yang mengajariku, bahwa
salah satu dari banyak hal dalam hidup adalah bersabar. Yang mengajariku, bahwa
keegoisan bukanlah hal yang patut dipelihara dalam diri. Dan yang pasti, terima
kasih telah mengajariku dan menyadarkanku, bahwa cinta tak harus saling
memiliki.
Bye!
Selamat Tinggal Masa Lalu
dan
Hai!
Selamat datang Masa Sekarang
Selamat
malam, apa kabar? Ini adalah kali pertamaku menulis kembali setelah beberapa
waktu lalu vacum. Ini karena waktuku yang begitu tersita untuk urusan sekolah.
Apalagi aku sudah berada di tingkat akhir untuk kelas sekolah menengah atas.
Tentunya, aku harus lebih focus untuk masa depan.
Bicara
soal masa depan. Masa dimana tidak ada satu orangpun yang bisa mengetahuinya.
Namun, kalian bisa berusaha untuk mencapai masa depan sesuai impianmu. Degan
syarat, “Kau harus pegang teguh mimpimu!”
Aku
selalu berpikir bahwa tujuan hidupku adalah mencari dan mendapatkan keridhoan
Allah. Aku selalu bertanya bahwa untuk apa aku hidup jika hanya bisa membuat
orang lain kecewa terhadapku.
Orang
tua adalah alasan utama mengapa aku harus berjuang keras untuk masa depan. aku
ingin mereka bangga melihatku. Lulus, dengan gelar sarjana. Dan dapat berguna
bagi banyak orang.
Cinta
itu Tumbuh Perlahan
Hai.
Kali ini aku tidak akan menuliskan kata “kah” di dalam coretanku ini. Rasanya
begitu lancang. Bagaimana bisa aku terus bergelut dengan masa lalu, sedangkan
dia sudah berbahagia dengan masa sekarangnya.
Tentu,
tidak mau kalah. Aku harus berbahagia dengan caraku sendiri. Hmmm ini
benar-benar di luar dugaanku.
Aku
berpikir bahwa aku dengannya tak akan pernah sedekat dan serumit ini, hingga
mengikut campurkan hati dan perasaan. Jujur saja, dulu aku menganggapnya hanya
sebagai teman dari masa laluku.
Di
luar dugaan. Dia menjadi sesuatu yang aku rindukan setiap kali. Rasanya seperti
cinta tumbuh perlahan. Mengikuti arus waktu yang terus saja bergulir.
Aku
merasa kesepian jika sosoknya tak kulihat dengan pandang. Aku merasa menunggu
jika dia tak memberiku pesan singkat setiap malamnya. Oh Tuhan, apakah ini
jawaban dari doaku?
Aku
pernah meminta kepada-Mu bahwa, “Tuhan, jika dia jodohku maka dekatkanlah
denganku, namun jika dia bukan jodohku, gantikan dengan seseorang yang pantas
untukku.”
Lalu,
apakah ini jawaban dari doa yang selalu ku pinta? Oh Tuhan, jika memang benar,
aku sangat menyukainya. Begitu hebatnya Engkau memberiku seorang manusia
berhati malaikat. Aku menyayanginya Tuhan. Perlahan, cinta itu tumbuh.
Pria
7 Meiku
Selamat
siang. Selamat Hari Sabtu. Selamat merindu.
Kamu? Bagaimana kabarmu hari ini? Masih lucu bukan? Hehehe.
Sudah
dua hari terakhir ini, aku tidak berkomunikasi denganmu via bbm. Aku merasakan
ada sesuatu yang hilang dengan tiba-tiba. Tidak biasanya kamu melakukan ini
kepadaku. Kamu yang aku kenal, adalah orang yang selalu rusuh menanyakan
tentang tugas sekolah yang hingga akhirnya kita asyik membahas hal lain hingga
larut malam.
Ketika membaca pesan yang kau kirim,
perutku seperti diputari oleh jutaan kunang-kunang yang berkelap-kelip
memamerkan kebahagiaannya. Aku tak bosan. Hingga aku menyadari hampir
berjam-jam kita menggoyangkan jari untuk mengirim pesan singkat yang lucu.
Entah kenapa aku mulai teribiasa
dengan keadaan. Tanpanya aku bisa. Tak lagi memikirkan orang yang bahkan tak
pernah menghargai sedikitpun usahaku. Bukan hanya menghargai, melihatnyapun
tidak.
Untukmu, terima kasih. Aku harap
kebahagiaan kita berdua akan selalu abadi. Tidak mudah tergoyahkan dengan
jutaan pasang air laut yang mencoba meleburkan.
Comments
Post a Comment